Berikut ini adalah contoh penulisan Bab 2 Tesis yang Bagus dan Ilmiah yang dapat kami tulis. Walau begitu, sesuai syarat dan ketentuan dari kami, penulisan kami hanya bersifat sebagai contoh bagi klien, bukan bab 2 sebenarnya. Klien harus menyesuaikan tulisan ini agar sejalan dengan gaya bahasa, pengetahuan, serta kebiasaan yang berlaku pada diri klien. Kami tidak bertanggungjawab pada penggunaan tulisan langsung tanpa modifikasi. Jika anda tertarik memesan tulisan seperti ini dari kami, anda dapat menghubungi tesisterbaik@hotmail.com.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Promosi
Konsep promosi dapat merujuk pada tindakan yang
diarahkan untuk mendorong suatu target untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks
pemasaran, promosi yang paling relevan adalah promosi penjualan. Webster (1971
dalam Persson, 1995:2) mengartikannya sebagai “upaya mendorong tindakan membeli
pelanggan jangka pendek”. Definisi lain dari Schultz dan Robinson (1982 dalam
Persson, 1995:2) adalah “dorongan atau insentif langsung pada tenaga pemasaran,
distributor, atau pelanggan, dengan tujuan utama menciptakan penjualan segera”.
Di sisi lain, Davis (1981 dalam Persson, 1995:2) mendefinisikannya sebagai
“upaya pemasaran yang bersifat melengkapi yang dilakukan dalam periode waktu
terbatas dan ditujukan untuk mendorong pembelian”. Blattberg dan Neslin (1990
dalam Persson, 1995:2) menyimpulkan bahwa promosi adalah “peristiwa pemasaran
yang berfokus pada tindakan yang tujuannya memberikan dampak langsung pada
perilaku konsumen suatu badan usaha”. Definisi terbaru dari Kotler dan Keller
(2012:478) menyatakan promosi sebagai “berbagai insentif jangka pendek untuk
mendorong percobaan atau pembelian produk atau layanan termasuklah promosi
konsumen (seperti sampel, kupon, dan premium), promosi dagang (seperti iklan
dan spanduk), dan promosi tenaga penjualan dan bisnis (seperti kontes
penjualan)”.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa konsep promosi
secara ilmiah berbeda dari konsep promosi yang dipahami sehari-hari. Dalam
kegiatan sehari-hari, promosi dimaknai sebagai bentuk insentif seperti potongan
harga, pembelian dengan hadiah langsung, atau nomor undian. Dalam pemasaran
secara ilmiah, promosi tidak hanya mencakup kegiatan-kegiatan ini tetapi juga
mencakup kegiatan iklan dan pemberian informasi secara luas pada masyarakat
tentang produk, tanpa harus mengubah harga produk menjadi lebih murah atau
menambahkan hadiah-hadiah.
Dari paparan di atas, terlihat pula bahwa iklan
merupakan salah satu bentuk promosi yang pada gilirannya dapat dikategorikan
sebagai bentuk komunikasi pemasaran. Selain promosi, komunikasi pemasaran
lainnya mencakuplah penjualan personal, pemasaran langsung, dan hubungan publik
(Praude dan Bormane, 2012:64).
Bidang promosi secara khusus dan komunikasi pemasaran
secara umum merupakan bidang yang terus berkembang. Bidang ini mengambil
berbagai teori dari psikologi dan sosiologi untuk menemukan cara terbaik dalam
memasarkan produk atau jasa pada masyarakat. Hal yang sama berlaku pula pada
upaya mempromosikan produk humanitarian seperti zakat. Sejumlah teori yang
dikemukakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas upaya promosi produk
jenis ini mencakuplah teori-teori seperti pertukaran sosial (Lawler et al,
2000), keadilan, persaingan, dan kerjasama (McKay et al, 2011), priming (Haley
dan Fessler, 2005), identitas moral (Aquino et al, 2009), empati (Lee et al, 2014),
dan realisme moral (Young dan Durwin, 2013). Berikut akan dibahas satu persatu
konsep ini.
2.1.1
Pertukaran Sosial
Teori pertukaran sosial bertopang pada konsep
pertukaran sosial. Teori ini menyatakan bahwa manusia secara naluriah memiliki
kecenderungan untuk melakukan tindakan balas. Jika seseorang mendapatkan
sesuatu dari orang lain, maka ia merasa memiliki kewajiban untuk membalas hal
tersebut. Dengan kata lain, ketika seseorang memberikan sesuatu pada orang
lain, maka orang lain tersebut termotivasi untuk melepaskan sesuatu tersebut
dengan cara lain yaitu memberikan balasan sesuatu pula (Bernerth, 2005:46).
Sesuatu ini tidak perlu berupa barang atau sesuatu yang sejenis karena sifat
dari kewajiban yang diemban orang yang mendapatkan sesuatu tersebut adalah
kewajiban yang tidak dispesifikasi. Sejauh individu merasakan bahwa sesuatu
tersebut layak dijadikan balasan atas pemberian orang tersebut, maka individu
dapat membalasnya dengan hal tersebut.
Teori pertukaran sosial seolah terlihat bertentangan
dengan teori ekonomi pada umumnya. Secara ekonomi, seorang individu memiliki
kecenderungan melakukan pertimbangan untung rugi dalam berbuat sesuatu. Jika
demikian, secara rasional seorang yang diberi hadiah semestinya tidak merasakan
adanya kewajiban untuk membalas. Jika ia tidak membalas pemberian tersebut,
maka ia akan lebih untung daripada membalas. Walau begitu, Draaijer (2008:14)
berpendapat bahwa sebenarnya hal ini tidak bertentangan. Pertama, pertukaran
sosial tidak terbatas pada materi, tetapi juga hal-hal seperti reputasi dan
kepercayaan diri. Akibatnya, seseorang yang mendapat hadiah tidak mesti
membalas dengan materi, tetapi dapat dengan hal-hal abstrak sesuai dengan
kemampuannya. Hal-hal abstrak ini berbeda dengan materi yang bersifat dapat
habis. Pengetahuan misalnya, tidak akan habis jika dibagikan ke orang lain.
Alasan kedua adalah sebenarnya ketika seseorang mendapatkan hadiah, ia
melakukan perhitungan rasional untung rugi yang bersifat sosial. Jika ia tidak
membalas pemberian tersebut, ia akan rugi secara sosial karena dipandang
sombong, tidak tahu terima kasih, tidak bermoral, dan sebagainya. Ia harus
membalas demi kebaikan dirinya sendiri. Keuntungan tetap ia peroleh selain dari
pembalasan tersebut juga datang dari selisih nilai yang muncul dari hadiah yang
diterima dengan balasan yang diberikan. Karenanya, teori pertukaran sosial
sebenarnya tergolong teori ekonomi.
Pengarang lain melihat bahwa teori pertukaran sosial
sebenarnya tidak mesti teori ekonomi. Hal ini dilakukan dengan menghubungkan
teori pertukaran sosial dengan konsep altruisme, yaitu memberikan manfaat pada
orang lain dengan mengorbankan diri sendiri (Boonmee, 2010:5). Perspektif ini
melihat bahwa pertukaran sosial memang menempatkan individu yang menerima
hadiah sebagai individu yang dirugikan karena harus membalas, walaupun ia
sebenarnya tidak berniat melakukannya. Kerugian ini kemudian dikompensasi
dengan perasaan puas secara moral yang dihasilkan dari tindakan membalas
tersebut, yang kemudian disebut sebagai altruisme. Di sisi lain, seorang
pemberi hadiah juga memiliki sifat altruistik jika ia tidak mengharapkan
balasan apapun dari orang yang ia berikan hadiah.
Selanjutnya teori—teori pertukaran sosial dibedakan
berdasarkan fokus minornya seperti pertukaran hukuman, pertukaran hadiah, pertukaran
kekuasaan dan sebagainya (Molm. 1990).
Perasaan pertukaran sosial pada diri individu sendiri
dapat diketahui lewat banyak cara. Shore et al (2006) misalnya mengembangkan
kuesioner pertukaran sosial yang diantaranya mengukur kesadaran bahwa seseorang
atau sesuatu telah memberikan hadiah pada dirinya, merasakan bahwa ia pernah
memberikan sesuatu pada orang atau kelompok dan menginginkan agar sesuatu
tersebut dihargai, dan keyakinan suatu saat akan membalas atau dibalas. Skala
ini telah banyak dipakai dalam penelitian seperti Takeuchi et al (2009) dan
Spitzmuller et al (2006).
Berdasarkan teori pertukaran sosial, maka dapat
diramalkan bahwa manusia akan menyumbang
jika terdapat sebuah komponen pertukaran dalam pesan promosi. Elemen pertukaran
ini dapat berupa pengingat bahwa individu telah mendapatkan rahmat Allah dalam
hidupnya. Karenanya, dapat dihipotesiskan bahwa:
H1: Promosi yang mengandung elemen yang mengingatkan
individu terhadap rahmat yang telah diberikan Allah kepadanya akan lebih
efektif daripada promosi yang tidak mengandung elemen tersebut.
2.1.2
Keadilan, Persaingan,
dan Kerjasama
Teori keadilan, persaingan, dan kerjasama adalah
sebuah teori terintegrasi yang dikembangkan oleh Fehr dan Schmidt (1999). Teori
ini didasarkan oleh temuan bahwa manusia cenderung saling tawar menawar dalam
situasi persaingan, tetapi tidak pada situasi bilateral. Selain itu, dasar
teori juga diambil dari kenyataan bahwa manusia cenderung curang jika dipaksa
bekerjasama, tetapi menjadi bekerjasama secara ikhlas ketika kerjasama
diarahkan pada upaya menghukum mereka yang curang.
Berdasarkan analisis mereka, faktor penentu apakah
seseorang akan bekerjasama dan menghukum orang ditentukan oleh motif keadilan.
Jika tidak ada sanksi dalam kerjasama, maka anggota adil yang bekerjasama akan
segera melepaskan diri dari kerjasama jika mereka melihat bahwa ada anggota
yang curang. Jika ada aturan sanksi, maka anggota-anggota adil akan bekerjasama
sekuat mungkin untuk menerapkan sanksi tersebut pada mereka yang dipandang
curang (Fehr dan Gaechter, 1999). Hasil ini berdampak pada minoritas yang adil
akan mampu mendorong mayoritas yang curang agar dapat bekerjasama dan memeluk
prinsip keadilan (Fehr dan Gaechter, 2000). Sebuah situasi kerjasama akan
mencapai kesetaraan jika ada minimum 40% anggota yang adil dalam sebuah
kelompok kerjasama (Charness dan Rabin, 2001).
Implikasi dari teori ini adalah manusia yang adil
akan cenderung memaksa agar orang lain berperilaku sesuai prinsip keadilan ini.
Dalam masyarakat dengan distribusi kekayaan yang beranekaragam dan religius, sumber prinsip keadilan dapat
datang dari agama. Sifat ini telah dinyatakan dalam sifat Tuhan yang Maha Adil.
Individu-individu yang percaya bahwa Tuhan Maha Adil akan mendorong individu
lain yang curang untuk bertindak adil. Dalam konsepsi agama, keadilan ekonomi
dapat dicapai dengan memberikan sebagian harta pada anggota masyarakat yang
diwajibkan untuk mendapatkan sumbangan tersebut. Teori ini berlawanan dengan
teori keadilan sosial yang menyatakan fokus dorongan untuk memberikan sumbangan
sosial adalah kondisi rakyat yang membutuhkan itu sendiri (Charness dan Rabin,
2001). Jika teori keadilan sosial menyatakan orang adil akan mendorong orang
lain untuk menyumbang karena masyarakat memerlukan bantuan sosial, teori Fehr
dan Schmidt (1999) menyatakan orang adil akan mendorong orang lain untuk
menyumbang karena mereka curang terhadap suatu aturan yang disepakati bersama
(misalnya aturan agama Islam). Implikasi lebih lanjut adalah jika teori
keadilan sosial tidak peduli apakah seseorang beragama tertentu atau bahkan
ateis, sejauh ada sanksi bagi mereka yang tidak menyumbang, teori Fehr dan
Schmidt (1999) melihat bahwa orang beragama akan lebih mungkin mendorong orang
lain untuk menyumbang daripada orang ateis, dalam situasi dimana sumbangan
tidak memiliki sanksi atau bersifat sukarela.
Elemen penting dari teori ini adalah keberadaan
sanksi. Sebuah sanksi akan mengingatkan seseorang agar dirinya memenuhi
kesepakatan agar tidak dihukum. Jika tidak terlihat adanya sanksi dalam sebuah
perilaku jika perilaku itu tidak dilakukan, maka individu, tanpa adanya tekanan
sosial, akan memilih untuk tidak memberikan sumbangan. Karenanya, berdasarkan teori Fehr dan Schmidt
(1999), adanya elemen sanksi dalam pesan promosi akan lebih mendorong perilaku
menyumbang daripada tidak adanya elemen sanksi dalam pesan tersebut. Hipotesis
yang dapat diajukan karenanya adalah:
H2: Pesan promosi yang mengandung elemen sanksi agama
(misalnya dosa atau berkurangnya rahmat Allah) akan lebih efektif daripada
pesan yang tidak mengandung elemen tersebut.
2.1.3
Priming
Konsep priming adalah sebuah konsep baru yang
dikenali dalam bidang kognitif. Priming adalah situasi dimana manusia membuat
keputusan berdasarkan petunjuk-petunjuk tak sadar dari lingkungan (Tulving dan
Schacter, 1990). Priming merupakan perubahan dalam kemampuan menemukan atau
menghasilkan sesuatu atau keputusan akibat dari adanya perjumpaan tak sadar
dengan sesuatu (Schacter dan Badgaiyan, 2001). Priming dipandang sebagai sebuah
fenomena ingatan manusia yang mencerminkan bahwa manusia dapat mengingat
sesuatu secara tidak sadar untuk mengambil sebuah keputusan (Henson, 2003).
Efek dari priming menjadi tidak bekerja jika partisipan sadar akan adanya
petunjuk.
Berbagai situasi priming telah digunakan dunia
pemasaran untuk menarik pembeli. Sebagai contoh, toko daging modern menaruh
bunga segar pada toko daging untuk mendorong manusia berpikir bahwa daging yang
mereka jual adalah daging yang segar. Bunga segar berfungsi sebagai priming
yang memunculkan kesan segar dan kesan segar ini ditransfer pada daging yang
dijual, walaupun daging tersebut pada kenyataannya tidak segar. Hal ini juga
menjelaskan mengapa supermarket meletakkan buah-buahan dan sayur-mayur di pintu
masuk agar memunculkan rasa segar pada diri pembeli dan mendorong mereka
membuat kesimpulan bahwa produk lain yang dijual adalah segar dan karenanya
membeli produk yang ada (Underhill, 2000:37). Begitu pula, studi menunjukkan
kalau manusia dapat dibuat percaya bahwa suatu ruangan bersih jika ia mencium
bau pembersih (Holland, Hendriks, dan Aarts, 2005). Dengan hanya mencium bau
pembersih, manusia membuat kesimpulan tidak sadar bahwa lingkungan tempat
dirinya berada adalah lingkungan yang bersih.
Contoh lain adalah bagaimana anak menjadi memakan
makanan yang sehat hanya dengan kehadiran sayuran dan buah di lingkungannya
(Hanks, Just, dan Wansink, 2012). Mereka secara tidak sadar termotivasi untuk
memakan sayur dan buah jika mereka bermain di lingkungan yang mengandung sayur
atau buah. Semua ini terjadi secara tidak sadar. Justru jika mereka sadar
dengan memproses logika ini secara kognitif, pola makan mereka menjadi tidak
berubah.
Sejalan dengan tema perilaku menyumbang, eksperimen
menemukan bahwa individu akan menyumbang jika ia merasa diawasi oleh sesuatu
yang anonim dan lebih berkuasa, entah itu kamera, bintik mata, gambar mata,
atau citra Tuhan yang mengawasi (Haley dan Fessler, 2005). Selain gambar,
kata-kata seperti ruh, kesucian, Tuhan, dan nabi, dapat mendorong orang
menyumbang lebih besar daripada kata-kata sekuler (Shariff dan Norenzayan,
2007). Shariff dan Norenzayan (2007) menawarkan dua hipotesis yaitu agama
secara umum mendorong perilaku menyumbang, atau priming mendorong pandangan
bahwa adanya Tuhan yang mengawasi sehingga manusia melakukan perilaku
menyumbang. Hipotesis kedua sejalan dengan temuan Haley dan Fessler (2005) yang
menemukan simbol mata mendorong perilaku menyumbang. Di sisi lain, konteks
zakat dan sedekah merupakan konsep yang religius sehingga hipotesis pertama
dapat dikontrol. Karenanya, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah:
H3: Pesan promosi yang mengandung gambar mata lebih efektif
daripada pesan promosi yang tidak mengandung elemen mata.
2.1.4
Identitas Moral
Identitas moral adalah “cakupan sifat moral (misalnya
adil, baik, penyayang) dialami sebagai bagian dari konsep diri seseorang”
(Aquino et al, 2009). Ia merupakan skema diri yang diorganisir di sekitar
asosiasi sifat moral tertentu yang dekat hubungannya dalam ingatan orang
tersebut, seperti peduli, sayang, adil, ramah, baik, membantu, bekerja keras,
dan jujur (Narvaez dan Lapsley, 2009:247). Carter (2010:97) menambahkan
karakteristik tidak egois dan berprinsip. Identitas moral terwujud dalam bentuk
komitmen yang konsisten pada diriseseorang untuk melakukan hal-hal yang
memberikan keuntungan bagi orang lain (Mustakova-Possardt, 2004:255). Ia
tercermin pula dari perilaku pelayanan masyarakat yang dijalankan oleh manusia
(Brock, Campbell, dan Kelly, 2004:22). Perilaku yang menyeimbangkan antara
identitas dan perilaku moral juga akan mendorong kepuasan pada diri individu
(Strahovnik, 2011:74). Karenanya, identitas moral juga termasuk bagian dari
identitas sosial seseorang (Aquino dan Reed, 2011:1424) sebagai hasil dari infusi
identitas seseorang dengan nilai-nilai moral (Casey, 2014:4). Konteksnya
sebagai identitas membuat identitas moral bersifat universal dan berlaku pada
setiap orang (Carter, 2010).
Terdapat dua jenis identitas moral yaitu identitas
politik dan identitas non politik (Lien, 1998:45). Seseorang yang memiliki
identitas moral politik belum tentu memiliki identitas moral non politik.
Dengan kata lain, seseorang dapat bermoral dalam situasi non politik (misalnya
perbuatan baik kepada fakir miskin) tetapi menjadi tidak bermoral dalam situasi
politik (misalnya dalam perebutan kursi pimpinan atau kepala).
Identitas moral mengandung dua elemen yang disebut
internalisasi dan simbolisasi (Hardy, 2014). Internalisasi adalah konsep diri
seseorang, dan simbolisasi adalah derajat identitas sosial moral tersebut
dinyatakan dalam tindakan. Dimensi internalisasi menekankan seberapa penting
seseorang berpikir kalau ia harus memiliki sifat moral tersebut sementara
dimensi simbolisasi menekankan bagaimana individu yakin kalau kehidupan
sehari-harinya mencerminkan karakter moral tersebut (Lu, 2012:13). Dalam dimensi simbolisasi ini, manusia bermoral
menyeimbangkan keadilan, kepedulian, dan kejujuran dalam kehidupannya
sehari-hari (Ober, 2013:10). Seseorang dengan identitas moral yang tinggi
memiliki celah antara pemikiran dan tindakan yang lebih sempit daripada
seseorang dengan identitas moral yang rendah (Wowra, 2007:305). Dengan kata
lain, orang dengan identitas moral yang tinggi tidak terhalang oleh norma
sosial dan tingkat kesulitan dari berperilaku yang dijelaskan oleh teori
perilaku terencana (Ajzen, 1991).
Identitas moral telah ditemukan sebagai variabel yang
memoderasi perilaku agresi balas dendam manusia (Aquino et al, 2007:388).
Individu dengan identitas moral yang kuat akan cenderung tidak membalas dendam
karena identitas moralnya menetralisir pemikiran-pemikiran untuk berbuat jahat
pada orang lain. Karenanya, identitas moral merupakan faktor yang sangat kuat
mempengaruhi perilaku moral seseorang (Reynolds dan Ceranic, 2007; Cote et al,
2011) kepada orang dari luar kelompok (Zomeren dan Spears, 2009: 674)
termasuklah perilaku yang bertanggungjawab secara sosial (Ormiston dan Wong,
2013) dan perilaku mengungkapkan keburukan atau kesalahan orang lain kepada
publik (Vadera, 2010). Efek ini lebih kuat dan independen dari penilaian moral
dalam konteks dimana terdapat konsensus moral atas suatu perilaku (Reynolds dan
Ceranic, 2007). Aquino dan Reed (2002) juga membenarkan bahwa identitas moral
berpengaruh pada volunteerisme (perilaku menjadi relawan).
Situasi ditemukan berpengaruh kuat pada apakah
perilaku moral terwujud atau tidak dari identitas moral (Aquino et al, 2009).
Selain faktor situasi, elevasi moral juga dipandang berfungsi sebagai mediasi
(Aquino, McFerran, dan Laven, 2011). Elevasi moral adalah sebuah situasi
emosional dimana seseorang merasakan adanya perasaan hangat dan luas ketika ia
melihat perilaku moral orang lain yang mengagumkan. Walau begitu, identitas moral ini
dibatasi oleh tanggungjawab pihak yang mendapatkan sumbangan. Jika individu
merasa bahwa pihak yang mendapatkan sumbangan tersebut adalah pihak yang
bertanggungjawab atas masalah yang ia hadapi (misalnya miskin karena malas,
cacat karena kelalaian, menjadi yatim karena membunuh orang tuanya), maka
individu akan menolak untuk menyumbang (Lee et al, 2014). Selain itu, identitas
moral menentukan bagaimana seseorang menilai kebaikan orang lain (Aquino et al,
2011) sejalan dengan teori keadilan, persaingan, dan kerjasama. Karenanya,
penting bagi sebuah OPZ untuk menjaga agar penerima sumbangan dinyatakan
keadaannya namun dengan tidak menisbahkan bahwa keadaan tersebut merupakan
tanggungjawab mereka.
Identitas moral sendiri muncul berkat pengaruh dari
pendidikan dan keluarga (Nunn, 2014). Karenanya, pendidikan moral dan keluarga
yang penuh penekanan pada nilai-nilai moral sangat penting bagi perkembangan
identitas moral seseorang. Dengan pendidikan dan keluarga yang mendorong,
manusia dapat mengembangkan identitas moral yang pada gilirannya membuat
dirinya menjalankan perilaku moral tertentu yang ditekankan tersebut (Reynolds
dan Ceranic, 2007). Gender juga ditemukan berpengaruh pada identitas moral
setidaknya pada anak-anak. Anak perempuan memiliki identitas moral yang lebih
kuat daripada anak laki-laki (Brock et al, 2004:27). Studi juga menemukan bahwa
perbedaan gender juga berpengaruh pada orang dewasa. Orang dewasa perempuan
lebih memiliki identitas moral lebih besar daripada orang dewasa laki-laki
ditunjukkan dalam perilaku menyumbang bagi orang di luar kelompok (Mesch,
2009:3).
Pengukuran identitas moral seseorang yang paling
sering digunakan adalah skala Identitas Moral Aquino dan Reed (2002). Skala ini
terdiri dari 13 item yang dibagi dalam dua dimensi yaitu simbolisasi dan
internalisasi. Sebuah daftar karakteristik (peduli, sayang, adil, dan
sebagainya) terdiri dari sembilan karakter moral didaftarkan terlebih dahulu
dan setiap item dari skala diarahkan pada sembilan karakter tersebut. Skala internalisasi
terdiri enam item seperti “memiliki karakter tersebut adalah bagian dari diri
saya”, “saya sangat ingin memiliki karakter tersebut”, “saya akan merasa nyaman
jika memiliki karakter tersebut”, atau “karakter tersebut merupakan bagian dari
kesejahteraan emosional saya”. Sementara itu, ada tujuh item untuk simbolisasi
seperti “saya sering memakai pakaian yang mencerminkan karakteristik ini”,
“hobi saya mencerminkan karakteristik ini”, “buku dan majalah yang saya baca
mencerminkan karakteristik ini”, atau “saya terlibat aktif dalam kegiatan yang
mencerminkan karakteristik ini pada orang lain”. Instrumen ini kemudian
diperbaiki hingga mengandung hanya 10 item dan digunakan dalam studi McFerran,
Aquino, dan Duffy (2010) dan Glenn et al (2010) serta Mayer et al (2011).
Frimer dan Walker (2009) memilih menggunakan analisis
isi hasil wawancara dari pada survey untuk mengetahui identitas moral
seseorang. Menurut mereka, seseorang dapat berbohong tentang identitas moral
mereka jika diminta mengisi kuesioner sementara jika di wawancara dengan tidak
menunjukkan adanya tendensi mencari nilai moral tertentu, moral seseorang dapat
lebih terlihat. Hal ini teramati dengan pilihan kata-kata yang mereka gunakan
dalam wawancara. Metode ini juga digunakan oleh Hamilton (2008) yang membuat
sendiri instrumen identitas moral dari hasil wawancara.
Dari dua jenis metode pengumpulan data tersebut,
peneliti memilih metode survey yang lebih langsung dan telah divalidasi dalam
berbagai penelitian. Sejalan dengan landasan teori yang ada, peneliti
mengajukan bahwa identitas moral berpengaruh terhadap perilaku menyumbang.
H4: Identitas moral berpengaruh terhadap perilaku
memberikan zakat, sedekah, dan infak
2.1.5
Empati
Empati adalah sebuah kemampuan untuk memahami
situasi, perspektif, dan perasaan orang lain, dan mengkomunikasikan pemahaman
tersebut pada orang tersebut (Mercer dan Reynolds, 2002). Definisi yang lebih
umum menyatakan bahwa empati adalah “hasrat atau kemampuan mengatribusikan
kondisi mental pada orang atau hewan lainnya, dan memberikan respon afektif
yang sesuai pada kondisi mental orang lain” (Baron-Cohen dan Wheelwright,
2004). Empati mengandung tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan perilaku
terhadap pengalaman orang lain (Goubert et al, 2005).
Empati sangat penting karena dibuktikan mampu
memunculkan semangat hidup pada pasien yang berobat (Mercer, Reilly, dan Watt,
2002). Karenanya elemen empati sangat ditonjolkan dalam bidang pelayanan
kesehatan (Mercer dan Reynolds, 2002). Empati juga telah ditemukan berperan
penting dalam perkembangan identitas awal seorang individu, bahkan pada level
bayi (Surrey, 1983) baik pada ibu maupun pada orang lain yang tidak akrab
(Knafo et al, 2008:4). Empati juga mampu mengubah sikap terhadap masyarakat
marginal seperti pribumi (Pedersen et al, 2004) ataupun sikap suami istri yang
sama-sama bekerja sehingga tidak mengalami konflik peran (Bakker dan Demerouti,
2007).
Menurut Blair (2005), ada tiga bentuk empati pada
diri manusia: empati kognitif, empati motorik, dan empati emosional. Empati
kognitif merupakan empati yang ditunjukkan dengan pencerminan kondisi mental
internal dari orang lain (misalnya ikut merasa sedih). Empati ini datang dari
teori pikiran yang melihat empati dimoderasi oleh faktor seperti sikap implisit
dan proses intra dan ekstra kelompok untuk dapat mencapai keluaran berupa
perilaku membantu (Decety, 2010:259). Empati motorik terjadi dimana individu
mencerminkan respon motorik orang lain (misalnya bersalaman atau posisi duduk).
Konsep empati motorik diturunkan dati teori empati motorik yang menunjukkan
kecenderungan manusia mencerminkan wajah dan tangan orang lain ketika
berinteraksi (Leslie, Johnson-Frey, dan Grafton, 2004). Empati emosional
merupakan pencerminan emosi. Ada dua jenis empati emosional: empati emosional
yang mencerminkan penampakan emosional orang lain (misalnya mimik wajah,
ekspresi vokal, atau gerakan tubuh) dan empati emosional yang mencerminkan
rangsangan emosional orang lain (misalnya merespon pernyataan yang mengandung
komponen emosional).
Empati telah ditemukan berpengaruh terhadap altruisme
yaitu kepedulian atas kesejahteraan orang lain (Van Lange, 2008). Selain itu,
empati membuat seseorang mengubah perilakunya terhadap orang lain. Hal ini
misalnya ditunjukkan dengan bertindak lebih baik atau lebih hormat. Perubahan
perilaku ini mencerminkan adanya pemahaman atas sebab dan akibat dari emosi
serta proses strategis yang dilakukan seseorang untuk mengekspresikan dan
mengelola emosinya (Brackett et al, 2010). Studi Kellett, Humphrey, dan Sleeth
(2002) menemukan pula bahwa empati menentukan bagaimana seseorang mengevaluasi
kinerja pemimpinnya. Pemimpin akan dipandang lebih baik jika ada empati
seseorang pada pemimpin tersebut ketimbang jika tidak ada empati.
Walau begitu, Hodges dan Klein (2001) melihat bahwa
empati bukanlah tanpa pengorbanan. Pengorbanan untuk menunjukkan empati
mencakup pengorbanan kognitif yaitu manusia harus berpikir dan mengambil
langkah-langkah agar mencerminkan kondisi orang lain. Selain itu, pengorbanan
dari empati datang dari penghilangan identitas karena identitas harus
disejalankan dengan identitas orang lain. Akibatnya individu harus merelakan
identitasnya hilang dan dirinya diserupakan dengan orang lain. Hal ini karena
empati mengaburkan garis antara diri dengan orang lain (Decety, 2011a:35).
Empati yagn berlebihan menyebabkan seseorang kelelahan secara emosional dan
mengurangi kapasitasnya untuk berempati dengan orang lain selain orang yang ia
empatikan saat itu (Decety, 2011b:103).
Studi Garcia (2013) menemukan bahwa usia, bahasa yang
ekspresif, dan tingkat depresi yang dirasakan ibu berpengaruh terhadap level
empati pada anak-anak pra sekolah. Usia dan penggunaan bahasa yang ekspresif
berpengaruh pada level empati anak dengan dimediasi oleh tingkat depresi yang
dirasakan oleh ibu. Selain itu, kepribadian juga ditemukan berpengaruh terhadap
empati (Costa et al, 2014). Tipe kepribadian yang memiliki empati tertinggi
adalah Terbuka pada Pengalaman sementara tipe kepribadian yang memiliki empati
terendah adalah tipe Aggreableness. Selain itu, Liew et al (2011) menemukan
bahwa regulasi fisiologis dan rasa takut menentukan pula perilaku empatis
anak-anak. Anak yang tidak memiliki regulasi fisiologis yang baik (misalnya
terserang penyakit tertentu atau tidak sehat) dan memiliki ketakutan yang besar
akan sulit menampilkan perilaku empatis pada orang lain.
Pengukuran empati dilakukan dengan berbagai
instrumen. Baron-Cohen dan Wheelwright (2004) mengembangkan Empathy Quotient
(EQ) sebuah instrumen untuk mengukur tingkat empati pada diri manusia. EQ
mengandung 60 item, 40 diantaranya adalah item empati sementara 20 sisanya
adalah item kontrol. Sementara itu, Lijffijt, Caci, dan Kenemans (2005)
mengembangkan kuesioner I7 (Impulsiveness-Venturesomeness-Empathy) yang mengandung
elemen empati di dalamnya. Kliszcz et al (2006) menggunakan skala empati
Jefferson. Skala ini spesifik pada konteks pelayanan kesehatan dan mengandung
tiga elemen (pengambilan perspektif, perawatan penuh rasa kasih, dan berada
dalam situasi pasien) yang diwakilkan oleh 20 item. Lee dan Chang (2008) dalam
studinya pada masyarakat umum di Taiwan menggunakan instrumen empati yang hanya
terdiri dari empat item.
Penelitian ini akan memilih menggunakan instrumen empati
Lee dan Chang (2008) untuk mengukur tingkat empati pada diri individu. Lebih
lanjut, sejalan dengan teori empati di atas, dihipotesiskan bahwa tingkat
empati individu akan berpengaruh signifikan terhadap perilaku menyumbang.
Selain itu, efek ini akan lebih tercermin dalam pilihan promosi yang mengandung
elemen empati daripada yang tidak.
H5: Tingkat Empati Individu berpengaruh terhadap perilaku
menyumbang
H6: Pesan yang menggugah rasa empati pada diri individu
akan lebih efektif daripada pesan yang tidak menggugah rasa empati
2.1.6
Realisme Moral
Menurut Devitt (2002), realisme moral adalah
pandangan filosofis yang berpendapat bahwa (1) terdapat fakta moral yang
objektif, (2) terdapat pernyataan moral yang benar secara objektif, (3)
terdapat orang atau tindakan yang baik, buruk, jujur, menipu, baik, tidak baik,
yang secara moral objektif, (4) terdapat tindakan yang dapat atau tidak dapat
dilakukan seseorang, dan (5) orang berhak secara objektif untuk mendapatkan
privasi dan menjalani hidupnya. Intinya adalah pendapat bahwa terdapat fakta
atau sifat moral yang independen dari pikiran dan hal ini menentukan nilai
kebenaran atas klaim moral kita (Kawall, 2005). Moral realisme bermakna bahwa
misalnya pernyataan kalau “adalah salah menyiksa orang untuk kesenangan” adalah
objektif. Ia tetap berlaku bahkan jika semua orang di dunia memandang bahwa
menyiksa orang untuk kesenangan itu benar (Plantinga, 2010:249).
Bagi seorang yang cenderung realis, pernyataan
filosofis di atas terlihat benar dengan sendirinya. Walau begitu, jika realis
moral benar, maka akan ada banyak kesepakatan mengenai moral di berbagai
penjuru dunia, dan kenyataannya banyak terdapat ketidaksepakatan moral di dunia
ini (Huemer, 2014). Situasi ini mendorong banyak orang untuk menjadi relativis
moral yang tidak setuju dengan pernyataan-pernyataan realisme moral.
Menurut Finlay (2007), realisme moral memiliki empat
jenis yaitu realisme moral semantik, realisme moral ontologis, realisme moral
metafisik, dan realisme moral normatif. Agama merupakan realisme moral normatif
karena memiliki agen yang memaksakan fakta moral yaitu aturan-aturan agama.
Walau begitu, terdapat pula perdebatan mengenai apakah Tuhan menciptakan aturan
moral atau sebaliknya, Tuhan mengikuti aturan moral yang telah ada. Hal ini
membedakan antara realis moral sejati (yang percaya Tuhan mengikuti aturan
moral) dan realis religius (yang percaya Tuhan menciptakan aturan moral).
Young dan Durwin (2013) menggabungkan teori priming
dengan teori realisme moral untuk mendorong partisipan melakukan perilaku
menyumbang. Mereka melakukan studi eksperimental untuk memanipulasi responden
dengan tiga jenis kondisi: realisme moral, antirealisme moral, dan tanpa
priming. Priming realisme moral meminta responden memberikan pendapat apakah ia
setuju kalau beberapa hal di dunia ini benar atau salah, baik atau buruk,
dimanapun di bumi ini? Priming antirealisme meminta responden memberikan pendapat
apakah ia setuju kalau moral dan nilai dibentuk oleh budaya kita dan bagaimana
kita dibesarkan, sehingga tidak ada yang mutlak benar dan mutlak salah dalam
masalah moralitas? Studi mereka menemukan bahwa partisipan dua kali lebih
mungkin lebih menyumbang ketika mendapatkan priming realisme moral ketimbang
priming antirealisme moral dan tanpa priming. Eksperimen oleh peneliti yang
sama pada lingkungan online juga menunjukkan hasil yang sama, tetapi dengan
efek yang lebih lemah.
Berdasarkan penelitian dan teori di atas, maka
peneliti berhipotesis bahwa priming realisme moral dalam promosi OPZ akan
mendorong responden menyumbang lebih banyak daripada priming antirealisme moral
dan tanpa priming.
H7: Pesan yang menekankan bahwa kebaikan merupakan sebuah
prinsip universal tanpa penafsiran mendua lebih efektif daripada pesan yang
menyatakan sifat moral sebagai sesuatu yang relatif atau tanpa priming
2.2
Perilaku Menyumbang
Perilaku menyumbang adalah sebuah dukungan individual
pada sebuah ajakan beramal (Griffin dan Grace, 2005:93). Perilaku menyumbang
dapat berbentuk tampak ataupun tak tampak. Bentuk tampak ditunjukkan misalnya
dengan pembelian barang untuk tujuan amal yang dapat dikenakan seseorang
sehingga orang lain melihat bahwa ia telah memberikan sumbangan. Perilaku
menyumbang yang tidak tampak adalah perilaku menyumbang yang tidak segera
terlihat oleh orang lain misalnya memasukkan uang di kotak amal ketika orang
lain tidak melihat atau mengosongkan nama atau memakai nama samaran untuk
mengisi kuitansi tanda telah memberikan sumbangan.
Penelitian tentang perilaku menyumbang telah banyak
dilakukan dan memberikan banyak faktor yang menjadi pendorong atau penarik
sumbangan. Penelitian Griffin dan Grace (2005) misalnya, menemukan fakta bahwa
sumbangan yang tampak dipengaruhi oleh keterlibatan seseorang, gender
(perempuan), dan usianya (muda), sementara sumbangan tak tampak dipengaruhi
hanya oleh keterlibatan. Keterlibatan diartikan sebagai “persepsi atas
relevansi objek berdasarkan kebutuhan, nilai, dan kepentingan individu”
(Griffin dan Grace, 2005:93). Studi Yang (2014) pada sumbangan alumni
universitas menemukan pengaruh faktor kelebihan penghasilan, pengalaman di
pasar tenaga kerja, frekuensi kunjungan ke kampusnya, dan konformitas
(keinginan diterima oleh komunitas yang meminta sumbangan). Hal ini kemudian
dapat ditafsirkan pada latar yang lebih umum kalau seseorang lebih mungkin
menyumbang jika ia memiliki kelebihan harta, memiliki sumber penghasilan yang
baik, sering terlibat dengan masyarakat miskin, dan juga memiliki keinginan
untuk dipandang sebagai orang yang baik di mata masyarakat.
Studi Lee dan Chang (2008) menemukan bahwa
kemungkinan menyumbang dengan uang dipengaruhi oleh faktor usia, gender,
pendapatan, status perkawinan, beban keluarga, dan persepsi umum terhadap
sumbangan. Orang yang lebih mungkin menyumbang adalah orang yang berusia muda,
perempuan, berpendapatan tinggi, memiliki satu atau lebih anak, dan telah
menikah, serta memiliki persepsi positif terhadap perilaku menyumbang.
Menariknya, empati justru ditemukan tidak berpengaruh signifikan pada perilaku
menyumbang. Empati hanya berpengaruh pada keterlibatan dalam menjadi relawan.
Selain dipengaruhi empati, keterlibatan dalam menjadi relawan juga dipengaruhi
oleh usia, status perkawinan, persepsi umum tentang sumbangan, rasa
tanggungjawab sosial, dan familiaritas dengan sumbangan. Lee dan Chang (2008)
tidak memberikan penjelasan mengapa empati tidak berpengaruh signifikan pada
sumbangan dalam bentuk uang, walaupun sejumlah penelitian sebelumnya yang
mereka kutip menunjukkan pengaruh yang signifikan. Hal ini patut disayangkan
karena empati merupakan elemen penting bagi perilaku manusia yang mencerminkan
moralitas seperti perilaku menyumbang.
Kembali pada Young dan Durwin (2013), mereka
melakukan dua jenis eksperimen. Dalam eksperimen pertama, partisipan
benar-benar memberikan sumbangan sementara pada eksperimen kedua, partisipan
hanya menjawab pertanyaan “seberapa besar uang yang anda akan sumbangkan
(paling banyak $20), jika anda memiliki kesempatan untuk menyumbang?”. Dalam
eksperimen pertama, para peneliti mengukur frekuensi sumbangan, bukannya jumlah
sumbangan, karena sebagian partisipan tidak memiliki uang walaupun memutuskan
untuk menyumbang. Dalam eksperimen kedua, para peneliti mengukur jumlah
sumbangan (termasuk $0). Sejalan dengan penelitian tersebut, maka perilaku
menyumbang dalam penelitian ini diukur oleh dua indikator yaitu frekuensi
sumbangan dan besaran dari sumbangan.
2.3 Zakat, Infak, dan Sadakah
Perilaku menyumbang dalam ajaran Islam di Indonesia
umumnya dibagi menjadi zakat, infak, dan sadakah. Ketiganya memiliki akar dari
ajaran Islam yang menyatakan bahwa Tuhan mengakui kekayaan, kemampuan, dan
kepemilikan individual, tetapi juga menekankan pentingnya solidaritas sosial,
keadilan sosial, dan kebaikan (Nanji, 2001:64). Hal ini dinyatakan dalam QS An
Nahl : 90 yang berbunyi:
* ¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
16:90.
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.
Selain itu, Tuhan sangat menghargai orang yang
mengeluarkan kekayaannya untuk membantu orang lain (QS Al Hadid :18) dan
sebaliknya, menghukum orang yang menumpuk-numpuk kekayaan (QS Ali Imran :180).
Dua aspek hukum ini ditunjukkan dalam dua ayat berikut:
¨bÎ) tûüÏ%Ïd¢ÁßJø9$# ÏM»s%Ïd¢ÁßJø9$#ur (#qàÊtø%r&ur ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ß#yè»Òã óOßgs9 óOßgs9ur Öô_r& ÒOÌx. ÇÊÑÈ
57:18. Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan
Rasul- Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka;
dan bagi mereka pahala yang banyak.
wur ¨ûtù|¡øts tûïÏ%©!$# tbqè=yö7t !$yJÎ/ ãNßg9s?#uä ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù uqèd #Zöyz Nçl°; ( ö@t/ uqèd @° öNçl°; ( tbqè%§qsÜãy $tB (#qè=Ïr2 ¾ÏmÎ/ tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 3 ¬!ur ß^ºuÏB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ª!$#ur $oÿÏ3 tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇÊÑÉÈ
3:180. sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan
harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa
kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di
hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di
bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Perbedaan antara zakat, sadaqah, dan infak merupakan
perbedaan sebutan dalam al Qur’an yang menunjukkan konteks ia muncul. Dalam al
Qur’an, perilaku menyumbang dinyatakan dalam lima bentuk yaitu sadaqa, zakat,
nafaqa, khayr, dan qard hasan. Sadaqa dan zakat adalah dua konsep utama. Konsep
infak diturunkan dari konsep nafaqa yang bermakna mengeluarkan kekayaan untuk
menyenangkan Tuhan. Hal ini disebutkan dalam surah al Baqarah ayat 265.
ã@sWtBur tûïÏ%©!$# cqà)ÏÿYã ãNßgs9ºuqøBr& uä!$tóÏGö/$# ÅV$|ÊötB «!$# $\GÎ7ø[s?ur ô`ÏiB öNÎgÅ¡àÿRr& È@sVyJx. ¥p¨Yy_ >ouqö/tÎ/ $ygt/$|¹r& ×@Î/#ur ôMs?$t«sù $ygn=à2é& Éú÷üxÿ÷èÅÊ bÎ*sù öN©9 $pkö:ÅÁã ×@Î/#ur @@sÜsù 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇËÏÎÈ
2:265. dan perumpamaan
orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan
untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran
Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua
kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun
memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.
Konsep khayr adalah konsep yang bermakna tindakan
memberi secara sukarela dan menguntungkan (Nanji, 2001:65). Konsep qard hasan
adalah konsep memberikan pinjaman yang menguntungkan siapa yang mendapatkan
pinjaman, bukan yang memberikan pinjaman, seperti dinyatakan dalam surah al
Baqarah ayat 245.
`¨B #s Ï%©!$# ÞÚÌø)ã ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏè»Òãsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouÏW2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)t äÝ+Áö6tur Ïmøs9Î)ur cqãèy_öè? ÇËÍÎÈ
2:245. siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Sadaqah dan zakat dapat tergolong infak karena
kekayaan dikeluarkan untuk menyenangkan Tuhan. Hal ini menunjukkan motivasi
yang sejalan dengan teori keadilan, persaingan, dan kerjasama, karena
berorientasi pada yang memberikan perintah, bukan pada yang akan diberikan.
Walau begitu, dalam perkembangannya di masyarakat, infak disandingkan dengan
sadaqah dan zakat dimana infak dipandang sebagai sumbangan sukarela yang
diarahkan bukan kepada individu tertentu, tetapi pada kegiatan seperti
perbaikan mesjid dan gotong royong.
Zakat merupakan sumbangan wajib yang besarnya
ditentukan dan berdosa jika tidak dilaksanakan. Zakat memiliki akar kata dari
zaka yang berarti menjadi murni. Kata zakat disebutkan dalam al Baqarah ayat
177:
* }§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm Írs 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4q2¨9$# cqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§Ø9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
2:177. bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
Zakat diarahkan pada sekelompok penerima yang telah
ditentukan kategorinya. Orang-orang yang wajib menerima zakat disebut sebagai
mustahik dan didaftarkan oleh surah at Taubah ayat 60.
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
9:60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sadaqah adalah sumbangan sukarela dalam jumlah namun
diarahkan pada individu yang lebih luas cakupannya daripada mustahik. Al
Baqarah ayat 273 menyebutkan bahwa sadaqah diarahkan pada orang miskin, orang
yang sedang dalam periode transisi namun terlihat tidak memerlukan bantuan, dan
orang yang memerlukan bantuan untuk hidup sehari-hari atau mengubah pola hidup
dengan kesempatan ekonomi atau pekerjaan yang lebih baik.
Ïä!#ts)àÿù=Ï9 úïÏ%©!$# (#rãÅÁômé& Îû È@Î6y «!$# w cqãèÏÜtGó¡t $\/ö|Ê Îû ÄßöF{$# ÞOßgç7|¡øts ã@Ïd$yfø9$# uä!$uÏZøîr& ÆÏB É#ÿyèG9$# NßgèùÌ÷ès? öNßg»yJÅ¡Î/ w cqè=t«ó¡t Z$¨Y9$# $]ù$ysø9Î) 3 $tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9öyz cÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ íOÎ=tæ ÇËÐÌÈ
2:273.
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan
Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka
mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka
dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara
mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah),
Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.
2.4
Organisasi pengelola zakat
Dalam negara modern, wacana pengelolaan zakat dan
sadaqah merupakan wacana besar yang memerlukan pengelolaan oleh negara. Negara
memberikan sebuah izin pada lembaga-lembaga khusus yang bertindak sebagai
penyalur sumbangan finansial dari umat. Lembaga ini kemudian disebut sebagai
OPZ atau Organisasi Pengelola Zakat. Pengelolaan zakat sendiri menurut Undang
Undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah “kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat”. Walaupun sasaran
utama adalah dana zakat, OPZ turut mengelola sadaqah dan infak sebagai bagian
dari dana umat, dan ini dilakukan secara nirlaba. Dengan pengelolaan oleh OPZ,
diharapkan zakat dan sadaqah tidak hanya memberikan hasil jangka pendek seperti
pemenuhan kebutuhan hidup yang cenderung konsumtif, tetapi juga pemenuhan
jangka panjang, seperti pemberdayaan ekonomi yang cenderung produktif.
Menurut Keputusan Menteri Agama No 373 tahun 2003,
terdapat dua jenis OPZ yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat
(LAZ). Perbedaannya terletak pada unsur yang mendirikan dan anggotanya. BAZ
didirikan oleh pemerintah, memiliki anggota dari unsur masyarakat dan
pemerintah, dan menjadikan pengelolaan zakat sebagai tugasnya. LAZ didirikan
oleh masyarakat dan pemerintah hanya berperan dalam pemberian izin dan
pengawasan, sementara pengelolaan zakat merupakan sebuah kegiatan dari LAZ.
Pada gilirannya, persaingan terjadi antar OPZ yang
masing-masing memiliki program tersendiri untuk pengelolaan zakat yang mereka
terima. Pada dasarnya, program OPZ memiliki dua dimensi yaitu dimensi efek dan
dimensi bentuk kegiatan. Dari segi efek, terdapat dua jenis sasaran yaitu
sasaran konsumtif dan sasaran produktif, sementara dari segi bentuk kegiatan
terdapat dua tipe yaitu tipe tradisional dan tipe kreatif. Karenanya, terdapat
empat jenis pengelolaan zakat oleh OPZ: (1) konsumtif tradisional berupa
santunan, (2) konsumtif kreatif, berupa beasiswa, bantuan kesehatan, bantuan
dakwah, bantuan pendidikan, atau bantuan kemanusiaan, (3) produktif tradisional
berupa pemberian barang-barang modal seperti ternak, mesin, atau alat, dan (4) produktif kreatif berupa pemberian modal usaha
disertai dengan pendampingan lewat perspektif pemberdayaan masyarakat.
Agama Islam telah memfasilitasi peran OPZ dalam
ajarannya. Salah satu pihak yang berhak menerima zakat adalah amil yaitu orang
yang mengelola zakat itu sendiri. Dalam level organisasi, ini berarti OPZ
sendiri merupakan pihak yang berhak menerima sumbangan. Sumbangan ini kemudian
digunakan untuk dana operasional serta untuk gaji amilin.
Dalam
persaingan program inilah, upaya promosi kemudian dijalankan. Masing-masing OPZ
menggunakan dana operasional salah satunya untuk kegiatan promosi program ini.
Karenanya, kita dapat melihat bahwa promosi pemasaran OPZ yang bersifat nirlaba
juga merupakan subjek bagi ekonomi syariah dalam upaya pengembangannya sesuai
ajaran Islam dan hasil penelitian mengenai perilaku manusia dalam hal ekonomi.
2.5
Landasan Teori
Model yang digunakan untuk menjadi landasan teori
perilaku menyumbang umumnya adalah model teori perilaku terencana (Ajzen, 1991)
yang memuat lima faktor: sikap, efikasi diri, norma subjektif, pengetahuan, dan
perilaku sebelumnya, yang mempengaruhi niat dan akhirnya niat mempengaruhi
perilaku (Jalalain et al, 2010). Hal ini wajar karena perilaku menyumbang
adalah sebuah bentuk perilaku dan perilaku ini dapat rasional karena memerlukan
pertimbangan finansial. Walau begitu, ia dapat pula tidak rasional, misalnya
dengan masuknya faktor empati di dalamnya. Karenanya, penelitian ini lebih
bertopang pada penelitian empiris ketimbang menggunakan satu teori tertentu
untuk mengembangkan kerangka teori perilaku menyumbang.
Teori-teori yang diambil dalam penelitian ini
mewakili perilaku manusia secara komprehensif dengan asumsi adanya komponen rasional
dan nonrasional dalam perilaku menyumbang. Teori keadilan, persaingan, dan
kerjasama mewakili komponen yang berorientasi normatif yaitu pada yang
memberikan perintah. Teori priming mewakili komponen non rasional tak sadar
manusia. Teori identitas moral mewakili komponen yang berorientasi pada diri
manusia. Teori empati mewakili komponen yang berorientasi pada sasaran
sumbangan, dan teori realisme moral berorientasi pada keseluruhan sistem yang
digunakan manusia untuk memahami moralitas.
2.6
Kerangka Konsep
Berdasarkan teori-teori dan hipotesis yang telah
dirumuskan di atas, penelitian ini mengajukan kerangka konseptual sebagai
berikut. Kerangka konseptual ini menggambarkan bahwa penelitian diarahkan pada
dua sasaran yaitu OPZ dan umat Islam secara individual. Hipotesis 1, 2, 3, 6,
dan 7 diarahkan pada OPZ dengan evaluasi pada promosi yang mereka jalankan,
sementara hipotesis 4 dan 5 diarahkan pada individual. Sasaran akhir dari
keduanya adalah frekuensi donasi yang tinggi dan jumlah donasi yang besar diberikan
oleh individual pada OPZ.
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual