Thursday, October 23, 2014

Contoh Bab 2 Tesis Yang Bagus dan Ilmiah

Berikut ini adalah contoh penulisan Bab 2 Tesis yang Bagus dan Ilmiah yang dapat kami tulis. Walau begitu, sesuai syarat dan ketentuan dari kami, penulisan kami hanya bersifat sebagai contoh bagi klien, bukan bab 2 sebenarnya. Klien harus menyesuaikan tulisan ini agar sejalan dengan gaya bahasa, pengetahuan, serta kebiasaan yang berlaku pada diri klien. Kami tidak bertanggungjawab pada penggunaan tulisan langsung tanpa modifikasi. Jika anda tertarik memesan tulisan seperti ini dari kami, anda dapat menghubungi tesisterbaik@hotmail.com. 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Promosi

Konsep promosi dapat merujuk pada tindakan yang diarahkan untuk mendorong suatu target untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks pemasaran, promosi yang paling relevan adalah promosi penjualan. Webster (1971 dalam Persson, 1995:2) mengartikannya sebagai “upaya mendorong tindakan membeli pelanggan jangka pendek”. Definisi lain dari Schultz dan Robinson (1982 dalam Persson, 1995:2) adalah “dorongan atau insentif langsung pada tenaga pemasaran, distributor, atau pelanggan, dengan tujuan utama menciptakan penjualan segera”. Di sisi lain, Davis (1981 dalam Persson, 1995:2) mendefinisikannya sebagai “upaya pemasaran yang bersifat melengkapi yang dilakukan dalam periode waktu terbatas dan ditujukan untuk mendorong pembelian”. Blattberg dan Neslin (1990 dalam Persson, 1995:2) menyimpulkan bahwa promosi adalah “peristiwa pemasaran yang berfokus pada tindakan yang tujuannya memberikan dampak langsung pada perilaku konsumen suatu badan usaha”. Definisi terbaru dari Kotler dan Keller (2012:478) menyatakan promosi sebagai “berbagai insentif jangka pendek untuk mendorong percobaan atau pembelian produk atau layanan termasuklah promosi konsumen (seperti sampel, kupon, dan premium), promosi dagang (seperti iklan dan spanduk), dan promosi tenaga penjualan dan bisnis (seperti kontes penjualan)”.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa konsep promosi secara ilmiah berbeda dari konsep promosi yang dipahami sehari-hari. Dalam kegiatan sehari-hari, promosi dimaknai sebagai bentuk insentif seperti potongan harga, pembelian dengan hadiah langsung, atau nomor undian. Dalam pemasaran secara ilmiah, promosi tidak hanya mencakup kegiatan-kegiatan ini tetapi juga mencakup kegiatan iklan dan pemberian informasi secara luas pada masyarakat tentang produk, tanpa harus mengubah harga produk menjadi lebih murah atau menambahkan hadiah-hadiah.
Dari paparan di atas, terlihat pula bahwa iklan merupakan salah satu bentuk promosi yang pada gilirannya dapat dikategorikan sebagai bentuk komunikasi pemasaran. Selain promosi, komunikasi pemasaran lainnya mencakuplah penjualan personal, pemasaran langsung, dan hubungan publik (Praude dan Bormane, 2012:64).
Bidang promosi secara khusus dan komunikasi pemasaran secara umum merupakan bidang yang terus berkembang. Bidang ini mengambil berbagai teori dari psikologi dan sosiologi untuk menemukan cara terbaik dalam memasarkan produk atau jasa pada masyarakat. Hal yang sama berlaku pula pada upaya mempromosikan produk humanitarian seperti zakat. Sejumlah teori yang dikemukakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas upaya promosi produk jenis ini mencakuplah teori-teori seperti pertukaran sosial (Lawler et al, 2000), keadilan, persaingan, dan kerjasama (McKay et al, 2011), priming (Haley dan Fessler, 2005), identitas moral (Aquino et al, 2009), empati (Lee et al, 2014), dan realisme moral (Young dan Durwin, 2013). Berikut akan dibahas satu persatu konsep ini.

2.1.1        Pertukaran Sosial

Teori pertukaran sosial bertopang pada konsep pertukaran sosial. Teori ini menyatakan bahwa manusia secara naluriah memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan balas. Jika seseorang mendapatkan sesuatu dari orang lain, maka ia merasa memiliki kewajiban untuk membalas hal tersebut. Dengan kata lain, ketika seseorang memberikan sesuatu pada orang lain, maka orang lain tersebut termotivasi untuk melepaskan sesuatu tersebut dengan cara lain yaitu memberikan balasan sesuatu pula (Bernerth, 2005:46). Sesuatu ini tidak perlu berupa barang atau sesuatu yang sejenis karena sifat dari kewajiban yang diemban orang yang mendapatkan sesuatu tersebut adalah kewajiban yang tidak dispesifikasi. Sejauh individu merasakan bahwa sesuatu tersebut layak dijadikan balasan atas pemberian orang tersebut, maka individu dapat membalasnya dengan hal tersebut.
Teori pertukaran sosial seolah terlihat bertentangan dengan teori ekonomi pada umumnya. Secara ekonomi, seorang individu memiliki kecenderungan melakukan pertimbangan untung rugi dalam berbuat sesuatu. Jika demikian, secara rasional seorang yang diberi hadiah semestinya tidak merasakan adanya kewajiban untuk membalas. Jika ia tidak membalas pemberian tersebut, maka ia akan lebih untung daripada membalas. Walau begitu, Draaijer (2008:14) berpendapat bahwa sebenarnya hal ini tidak bertentangan. Pertama, pertukaran sosial tidak terbatas pada materi, tetapi juga hal-hal seperti reputasi dan kepercayaan diri. Akibatnya, seseorang yang mendapat hadiah tidak mesti membalas dengan materi, tetapi dapat dengan hal-hal abstrak sesuai dengan kemampuannya. Hal-hal abstrak ini berbeda dengan materi yang bersifat dapat habis. Pengetahuan misalnya, tidak akan habis jika dibagikan ke orang lain. Alasan kedua adalah sebenarnya ketika seseorang mendapatkan hadiah, ia melakukan perhitungan rasional untung rugi yang bersifat sosial. Jika ia tidak membalas pemberian tersebut, ia akan rugi secara sosial karena dipandang sombong, tidak tahu terima kasih, tidak bermoral, dan sebagainya. Ia harus membalas demi kebaikan dirinya sendiri. Keuntungan tetap ia peroleh selain dari pembalasan tersebut juga datang dari selisih nilai yang muncul dari hadiah yang diterima dengan balasan yang diberikan. Karenanya, teori pertukaran sosial sebenarnya tergolong teori ekonomi.
Pengarang lain melihat bahwa teori pertukaran sosial sebenarnya tidak mesti teori ekonomi. Hal ini dilakukan dengan menghubungkan teori pertukaran sosial dengan konsep altruisme, yaitu memberikan manfaat pada orang lain dengan mengorbankan diri sendiri (Boonmee, 2010:5). Perspektif ini melihat bahwa pertukaran sosial memang menempatkan individu yang menerima hadiah sebagai individu yang dirugikan karena harus membalas, walaupun ia sebenarnya tidak berniat melakukannya. Kerugian ini kemudian dikompensasi dengan perasaan puas secara moral yang dihasilkan dari tindakan membalas tersebut, yang kemudian disebut sebagai altruisme. Di sisi lain, seorang pemberi hadiah juga memiliki sifat altruistik jika ia tidak mengharapkan balasan apapun dari orang yang ia berikan hadiah.
Selanjutnya teori—teori pertukaran sosial dibedakan berdasarkan fokus minornya seperti pertukaran hukuman, pertukaran hadiah, pertukaran kekuasaan dan sebagainya (Molm. 1990).
Perasaan pertukaran sosial pada diri individu sendiri dapat diketahui lewat banyak cara. Shore et al (2006) misalnya mengembangkan kuesioner pertukaran sosial yang diantaranya mengukur kesadaran bahwa seseorang atau sesuatu telah memberikan hadiah pada dirinya, merasakan bahwa ia pernah memberikan sesuatu pada orang atau kelompok dan menginginkan agar sesuatu tersebut dihargai, dan keyakinan suatu saat akan membalas atau dibalas. Skala ini telah banyak dipakai dalam penelitian seperti Takeuchi et al (2009) dan Spitzmuller et al (2006).
Berdasarkan teori pertukaran sosial, maka dapat diramalkan  bahwa manusia akan menyumbang jika terdapat sebuah komponen pertukaran dalam pesan promosi. Elemen pertukaran ini dapat berupa pengingat bahwa individu telah mendapatkan rahmat Allah dalam hidupnya. Karenanya, dapat dihipotesiskan bahwa:
H1: Promosi yang mengandung elemen yang mengingatkan individu terhadap rahmat yang telah diberikan Allah kepadanya akan lebih efektif daripada promosi yang tidak mengandung elemen tersebut.

2.1.2        Keadilan, Persaingan, dan Kerjasama

Teori keadilan, persaingan, dan kerjasama adalah sebuah teori terintegrasi yang dikembangkan oleh Fehr dan Schmidt (1999). Teori ini didasarkan oleh temuan bahwa manusia cenderung saling tawar menawar dalam situasi persaingan, tetapi tidak pada situasi bilateral. Selain itu, dasar teori juga diambil dari kenyataan bahwa manusia cenderung curang jika dipaksa bekerjasama, tetapi menjadi bekerjasama secara ikhlas ketika kerjasama diarahkan pada upaya menghukum mereka yang curang.
Berdasarkan analisis mereka, faktor penentu apakah seseorang akan bekerjasama dan menghukum orang ditentukan oleh motif keadilan. Jika tidak ada sanksi dalam kerjasama, maka anggota adil yang bekerjasama akan segera melepaskan diri dari kerjasama jika mereka melihat bahwa ada anggota yang curang. Jika ada aturan sanksi, maka anggota-anggota adil akan bekerjasama sekuat mungkin untuk menerapkan sanksi tersebut pada mereka yang dipandang curang (Fehr dan Gaechter, 1999). Hasil ini berdampak pada minoritas yang adil akan mampu mendorong mayoritas yang curang agar dapat bekerjasama dan memeluk prinsip keadilan (Fehr dan Gaechter, 2000). Sebuah situasi kerjasama akan mencapai kesetaraan jika ada minimum 40% anggota yang adil dalam sebuah kelompok kerjasama (Charness dan Rabin, 2001).
Implikasi dari teori ini adalah manusia yang adil akan cenderung memaksa agar orang lain berperilaku sesuai prinsip keadilan ini. Dalam masyarakat dengan distribusi kekayaan yang beranekaragam  dan religius, sumber prinsip keadilan dapat datang dari agama. Sifat ini telah dinyatakan dalam sifat Tuhan yang Maha Adil. Individu-individu yang percaya bahwa Tuhan Maha Adil akan mendorong individu lain yang curang untuk bertindak adil. Dalam konsepsi agama, keadilan ekonomi dapat dicapai dengan memberikan sebagian harta pada anggota masyarakat yang diwajibkan untuk mendapatkan sumbangan tersebut. Teori ini berlawanan dengan teori keadilan sosial yang menyatakan fokus dorongan untuk memberikan sumbangan sosial adalah kondisi rakyat yang membutuhkan itu sendiri (Charness dan Rabin, 2001). Jika teori keadilan sosial menyatakan orang adil akan mendorong orang lain untuk menyumbang karena masyarakat memerlukan bantuan sosial, teori Fehr dan Schmidt (1999) menyatakan orang adil akan mendorong orang lain untuk menyumbang karena mereka curang terhadap suatu aturan yang disepakati bersama (misalnya aturan agama Islam). Implikasi lebih lanjut adalah jika teori keadilan sosial tidak peduli apakah seseorang beragama tertentu atau bahkan ateis, sejauh ada sanksi bagi mereka yang tidak menyumbang, teori Fehr dan Schmidt (1999) melihat bahwa orang beragama akan lebih mungkin mendorong orang lain untuk menyumbang daripada orang ateis, dalam situasi dimana sumbangan tidak memiliki sanksi atau bersifat sukarela.
Elemen penting dari teori ini adalah keberadaan sanksi. Sebuah sanksi akan mengingatkan seseorang agar dirinya memenuhi kesepakatan agar tidak dihukum. Jika tidak terlihat adanya sanksi dalam sebuah perilaku jika perilaku itu tidak dilakukan, maka individu, tanpa adanya tekanan sosial, akan memilih untuk tidak memberikan sumbangan.  Karenanya, berdasarkan teori Fehr dan Schmidt (1999), adanya elemen sanksi dalam pesan promosi akan lebih mendorong perilaku menyumbang daripada tidak adanya elemen sanksi dalam pesan tersebut. Hipotesis yang dapat diajukan karenanya adalah:
H2: Pesan promosi yang mengandung elemen sanksi agama (misalnya dosa atau berkurangnya rahmat Allah) akan lebih efektif daripada pesan yang tidak mengandung elemen tersebut.

2.1.3        Priming

Konsep priming adalah sebuah konsep baru yang dikenali dalam bidang kognitif. Priming adalah situasi dimana manusia membuat keputusan berdasarkan petunjuk-petunjuk tak sadar dari lingkungan (Tulving dan Schacter, 1990). Priming merupakan perubahan dalam kemampuan menemukan atau menghasilkan sesuatu atau keputusan akibat dari adanya perjumpaan tak sadar dengan sesuatu (Schacter dan Badgaiyan, 2001). Priming dipandang sebagai sebuah fenomena ingatan manusia yang mencerminkan bahwa manusia dapat mengingat sesuatu secara tidak sadar untuk mengambil sebuah keputusan (Henson, 2003). Efek dari priming menjadi tidak bekerja jika partisipan sadar akan adanya petunjuk.
Berbagai situasi priming telah digunakan dunia pemasaran untuk menarik pembeli. Sebagai contoh, toko daging modern menaruh bunga segar pada toko daging untuk mendorong manusia berpikir bahwa daging yang mereka jual adalah daging yang segar. Bunga segar berfungsi sebagai priming yang memunculkan kesan segar dan kesan segar ini ditransfer pada daging yang dijual, walaupun daging tersebut pada kenyataannya tidak segar. Hal ini juga menjelaskan mengapa supermarket meletakkan buah-buahan dan sayur-mayur di pintu masuk agar memunculkan rasa segar pada diri pembeli dan mendorong mereka membuat kesimpulan bahwa produk lain yang dijual adalah segar dan karenanya membeli produk yang ada (Underhill, 2000:37). Begitu pula, studi menunjukkan kalau manusia dapat dibuat percaya bahwa suatu ruangan bersih jika ia mencium bau pembersih (Holland, Hendriks, dan Aarts, 2005). Dengan hanya mencium bau pembersih, manusia membuat kesimpulan tidak sadar bahwa lingkungan tempat dirinya berada adalah lingkungan yang bersih.
Contoh lain adalah bagaimana anak menjadi memakan makanan yang sehat hanya dengan kehadiran sayuran dan buah di lingkungannya (Hanks, Just, dan Wansink, 2012). Mereka secara tidak sadar termotivasi untuk memakan sayur dan buah jika mereka bermain di lingkungan yang mengandung sayur atau buah. Semua ini terjadi secara tidak sadar. Justru jika mereka sadar dengan memproses logika ini secara kognitif, pola makan mereka menjadi tidak berubah.
Sejalan dengan tema perilaku menyumbang, eksperimen menemukan bahwa individu akan menyumbang jika ia merasa diawasi oleh sesuatu yang anonim dan lebih berkuasa, entah itu kamera, bintik mata, gambar mata, atau citra Tuhan yang mengawasi (Haley dan Fessler, 2005). Selain gambar, kata-kata seperti ruh, kesucian, Tuhan, dan nabi, dapat mendorong orang menyumbang lebih besar daripada kata-kata sekuler (Shariff dan Norenzayan, 2007). Shariff dan Norenzayan (2007) menawarkan dua hipotesis yaitu agama secara umum mendorong perilaku menyumbang, atau priming mendorong pandangan bahwa adanya Tuhan yang mengawasi sehingga manusia melakukan perilaku menyumbang. Hipotesis kedua sejalan dengan temuan Haley dan Fessler (2005) yang menemukan simbol mata mendorong perilaku menyumbang. Di sisi lain, konteks zakat dan sedekah merupakan konsep yang religius sehingga hipotesis pertama dapat dikontrol. Karenanya, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H3: Pesan promosi yang mengandung gambar mata lebih efektif daripada pesan promosi yang tidak mengandung elemen mata.

2.1.4        Identitas Moral

Identitas moral adalah “cakupan sifat moral (misalnya adil, baik, penyayang) dialami sebagai bagian dari konsep diri seseorang” (Aquino et al, 2009). Ia merupakan skema diri yang diorganisir di sekitar asosiasi sifat moral tertentu yang dekat hubungannya dalam ingatan orang tersebut, seperti peduli, sayang, adil, ramah, baik, membantu, bekerja keras, dan jujur (Narvaez dan Lapsley, 2009:247). Carter (2010:97) menambahkan karakteristik tidak egois dan berprinsip. Identitas moral terwujud dalam bentuk komitmen yang konsisten pada diriseseorang untuk melakukan hal-hal yang memberikan keuntungan bagi orang lain (Mustakova-Possardt, 2004:255). Ia tercermin pula dari perilaku pelayanan masyarakat yang dijalankan oleh manusia (Brock, Campbell, dan Kelly, 2004:22). Perilaku yang menyeimbangkan antara identitas dan perilaku moral juga akan mendorong kepuasan pada diri individu (Strahovnik, 2011:74). Karenanya, identitas moral juga termasuk bagian dari identitas sosial seseorang (Aquino dan Reed, 2011:1424) sebagai hasil dari infusi identitas seseorang dengan nilai-nilai moral (Casey, 2014:4). Konteksnya sebagai identitas membuat identitas moral bersifat universal dan berlaku pada setiap orang (Carter, 2010).
Terdapat dua jenis identitas moral yaitu identitas politik dan identitas non politik (Lien, 1998:45). Seseorang yang memiliki identitas moral politik belum tentu memiliki identitas moral non politik. Dengan kata lain, seseorang dapat bermoral dalam situasi non politik (misalnya perbuatan baik kepada fakir miskin) tetapi menjadi tidak bermoral dalam situasi politik (misalnya dalam perebutan kursi pimpinan atau kepala).
Identitas moral mengandung dua elemen yang disebut internalisasi dan simbolisasi (Hardy, 2014). Internalisasi adalah konsep diri seseorang, dan simbolisasi adalah derajat identitas sosial moral tersebut dinyatakan dalam tindakan. Dimensi internalisasi menekankan seberapa penting seseorang berpikir kalau ia harus memiliki sifat moral tersebut sementara dimensi simbolisasi menekankan bagaimana individu yakin kalau kehidupan sehari-harinya mencerminkan karakter moral tersebut (Lu, 2012:13). Dalam dimensi simbolisasi ini, manusia bermoral menyeimbangkan keadilan, kepedulian, dan kejujuran dalam kehidupannya sehari-hari (Ober, 2013:10). Seseorang dengan identitas moral yang tinggi memiliki celah antara pemikiran dan tindakan yang lebih sempit daripada seseorang dengan identitas moral yang rendah (Wowra, 2007:305). Dengan kata lain, orang dengan identitas moral yang tinggi tidak terhalang oleh norma sosial dan tingkat kesulitan dari berperilaku yang dijelaskan oleh teori perilaku terencana (Ajzen, 1991).
Identitas moral telah ditemukan sebagai variabel yang memoderasi perilaku agresi balas dendam manusia (Aquino et al, 2007:388). Individu dengan identitas moral yang kuat akan cenderung tidak membalas dendam karena identitas moralnya menetralisir pemikiran-pemikiran untuk berbuat jahat pada orang lain. Karenanya, identitas moral merupakan faktor yang sangat kuat mempengaruhi perilaku moral seseorang (Reynolds dan Ceranic, 2007; Cote et al, 2011) kepada orang dari luar kelompok (Zomeren dan Spears, 2009: 674) termasuklah perilaku yang bertanggungjawab secara sosial (Ormiston dan Wong, 2013) dan perilaku mengungkapkan keburukan atau kesalahan orang lain kepada publik (Vadera, 2010). Efek ini lebih kuat dan independen dari penilaian moral dalam konteks dimana terdapat konsensus moral atas suatu perilaku (Reynolds dan Ceranic, 2007). Aquino dan Reed (2002) juga membenarkan bahwa identitas moral berpengaruh pada volunteerisme (perilaku menjadi relawan).
Situasi ditemukan berpengaruh kuat pada apakah perilaku moral terwujud atau tidak dari identitas moral (Aquino et al, 2009). Selain faktor situasi, elevasi moral juga dipandang berfungsi sebagai mediasi (Aquino, McFerran, dan Laven, 2011). Elevasi moral adalah sebuah situasi emosional dimana seseorang merasakan adanya perasaan hangat dan luas ketika ia melihat perilaku moral orang lain yang mengagumkan. Walau begitu, identitas moral ini dibatasi oleh tanggungjawab pihak yang mendapatkan sumbangan. Jika individu merasa bahwa pihak yang mendapatkan sumbangan tersebut adalah pihak yang bertanggungjawab atas masalah yang ia hadapi (misalnya miskin karena malas, cacat karena kelalaian, menjadi yatim karena membunuh orang tuanya), maka individu akan menolak untuk menyumbang (Lee et al, 2014). Selain itu, identitas moral menentukan bagaimana seseorang menilai kebaikan orang lain (Aquino et al, 2011) sejalan dengan teori keadilan, persaingan, dan kerjasama. Karenanya, penting bagi sebuah OPZ untuk menjaga agar penerima sumbangan dinyatakan keadaannya namun dengan tidak menisbahkan bahwa keadaan tersebut merupakan tanggungjawab mereka.
Identitas moral sendiri muncul berkat pengaruh dari pendidikan dan keluarga (Nunn, 2014). Karenanya, pendidikan moral dan keluarga yang penuh penekanan pada nilai-nilai moral sangat penting bagi perkembangan identitas moral seseorang. Dengan pendidikan dan keluarga yang mendorong, manusia dapat mengembangkan identitas moral yang pada gilirannya membuat dirinya menjalankan perilaku moral tertentu yang ditekankan tersebut (Reynolds dan Ceranic, 2007). Gender juga ditemukan berpengaruh pada identitas moral setidaknya pada anak-anak. Anak perempuan memiliki identitas moral yang lebih kuat daripada anak laki-laki (Brock et al, 2004:27). Studi juga menemukan bahwa perbedaan gender juga berpengaruh pada orang dewasa. Orang dewasa perempuan lebih memiliki identitas moral lebih besar daripada orang dewasa laki-laki ditunjukkan dalam perilaku menyumbang bagi orang di luar kelompok (Mesch, 2009:3).
Pengukuran identitas moral seseorang yang paling sering digunakan adalah skala Identitas Moral Aquino dan Reed (2002). Skala ini terdiri dari 13 item yang dibagi dalam dua dimensi yaitu simbolisasi dan internalisasi. Sebuah daftar karakteristik (peduli, sayang, adil, dan sebagainya) terdiri dari sembilan karakter moral didaftarkan terlebih dahulu dan setiap item dari skala diarahkan pada sembilan karakter tersebut. Skala internalisasi terdiri enam item seperti “memiliki karakter tersebut adalah bagian dari diri saya”, “saya sangat ingin memiliki karakter tersebut”, “saya akan merasa nyaman jika memiliki karakter tersebut”, atau “karakter tersebut merupakan bagian dari kesejahteraan emosional saya”. Sementara itu, ada tujuh item untuk simbolisasi seperti “saya sering memakai pakaian yang mencerminkan karakteristik ini”, “hobi saya mencerminkan karakteristik ini”, “buku dan majalah yang saya baca mencerminkan karakteristik ini”, atau “saya terlibat aktif dalam kegiatan yang mencerminkan karakteristik ini pada orang lain”. Instrumen ini kemudian diperbaiki hingga mengandung hanya 10 item dan digunakan dalam studi McFerran, Aquino, dan Duffy (2010) dan Glenn et al (2010) serta Mayer et al (2011).
Frimer dan Walker (2009) memilih menggunakan analisis isi hasil wawancara dari pada survey untuk mengetahui identitas moral seseorang. Menurut mereka, seseorang dapat berbohong tentang identitas moral mereka jika diminta mengisi kuesioner sementara jika di wawancara dengan tidak menunjukkan adanya tendensi mencari nilai moral tertentu, moral seseorang dapat lebih terlihat. Hal ini teramati dengan pilihan kata-kata yang mereka gunakan dalam wawancara. Metode ini juga digunakan oleh Hamilton (2008) yang membuat sendiri instrumen identitas moral dari hasil wawancara.
Dari dua jenis metode pengumpulan data tersebut, peneliti memilih metode survey yang lebih langsung dan telah divalidasi dalam berbagai penelitian. Sejalan dengan landasan teori yang ada, peneliti mengajukan bahwa identitas moral berpengaruh terhadap perilaku menyumbang.
H4: Identitas moral berpengaruh terhadap perilaku memberikan zakat, sedekah, dan infak

2.1.5        Empati

Empati adalah sebuah kemampuan untuk memahami situasi, perspektif, dan perasaan orang lain, dan mengkomunikasikan pemahaman tersebut pada orang tersebut (Mercer dan Reynolds, 2002). Definisi yang lebih umum menyatakan bahwa empati adalah “hasrat atau kemampuan mengatribusikan kondisi mental pada orang atau hewan lainnya, dan memberikan respon afektif yang sesuai pada kondisi mental orang lain” (Baron-Cohen dan Wheelwright, 2004). Empati mengandung tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan perilaku terhadap pengalaman orang lain (Goubert et al, 2005).
Empati sangat penting karena dibuktikan mampu memunculkan semangat hidup pada pasien yang berobat (Mercer, Reilly, dan Watt, 2002). Karenanya elemen empati sangat ditonjolkan dalam bidang pelayanan kesehatan (Mercer dan Reynolds, 2002). Empati juga telah ditemukan berperan penting dalam perkembangan identitas awal seorang individu, bahkan pada level bayi (Surrey, 1983) baik pada ibu maupun pada orang lain yang tidak akrab (Knafo et al, 2008:4). Empati juga mampu mengubah sikap terhadap masyarakat marginal seperti pribumi (Pedersen et al, 2004) ataupun sikap suami istri yang sama-sama bekerja sehingga tidak mengalami konflik peran (Bakker dan Demerouti, 2007).
Menurut Blair (2005), ada tiga bentuk empati pada diri manusia: empati kognitif, empati motorik, dan empati emosional. Empati kognitif merupakan empati yang ditunjukkan dengan pencerminan kondisi mental internal dari orang lain (misalnya ikut merasa sedih). Empati ini datang dari teori pikiran yang melihat empati dimoderasi oleh faktor seperti sikap implisit dan proses intra dan ekstra kelompok untuk dapat mencapai keluaran berupa perilaku membantu (Decety, 2010:259). Empati motorik terjadi dimana individu mencerminkan respon motorik orang lain (misalnya bersalaman atau posisi duduk). Konsep empati motorik diturunkan dati teori empati motorik yang menunjukkan kecenderungan manusia mencerminkan wajah dan tangan orang lain ketika berinteraksi (Leslie, Johnson-Frey, dan Grafton, 2004). Empati emosional merupakan pencerminan emosi. Ada dua jenis empati emosional: empati emosional yang mencerminkan penampakan emosional orang lain (misalnya mimik wajah, ekspresi vokal, atau gerakan tubuh) dan empati emosional yang mencerminkan rangsangan emosional orang lain (misalnya merespon pernyataan yang mengandung komponen emosional).
Empati telah ditemukan berpengaruh terhadap altruisme yaitu kepedulian atas kesejahteraan orang lain (Van Lange, 2008). Selain itu, empati membuat seseorang mengubah perilakunya terhadap orang lain. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan bertindak lebih baik atau lebih hormat. Perubahan perilaku ini mencerminkan adanya pemahaman atas sebab dan akibat dari emosi serta proses strategis yang dilakukan seseorang untuk mengekspresikan dan mengelola emosinya (Brackett et al, 2010). Studi Kellett, Humphrey, dan Sleeth (2002) menemukan pula bahwa empati menentukan bagaimana seseorang mengevaluasi kinerja pemimpinnya. Pemimpin akan dipandang lebih baik jika ada empati seseorang pada pemimpin tersebut ketimbang jika tidak ada empati.
Walau begitu, Hodges dan Klein (2001) melihat bahwa empati bukanlah tanpa pengorbanan. Pengorbanan untuk menunjukkan empati mencakup pengorbanan kognitif yaitu manusia harus berpikir dan mengambil langkah-langkah agar mencerminkan kondisi orang lain. Selain itu, pengorbanan dari empati datang dari penghilangan identitas karena identitas harus disejalankan dengan identitas orang lain. Akibatnya individu harus merelakan identitasnya hilang dan dirinya diserupakan dengan orang lain. Hal ini karena empati mengaburkan garis antara diri dengan orang lain (Decety, 2011a:35). Empati yagn berlebihan menyebabkan seseorang kelelahan secara emosional dan mengurangi kapasitasnya untuk berempati dengan orang lain selain orang yang ia empatikan saat itu (Decety, 2011b:103).
Studi Garcia (2013) menemukan bahwa usia, bahasa yang ekspresif, dan tingkat depresi yang dirasakan ibu berpengaruh terhadap level empati pada anak-anak pra sekolah. Usia dan penggunaan bahasa yang ekspresif berpengaruh pada level empati anak dengan dimediasi oleh tingkat depresi yang dirasakan oleh ibu. Selain itu, kepribadian juga ditemukan berpengaruh terhadap empati (Costa et al, 2014). Tipe kepribadian yang memiliki empati tertinggi adalah Terbuka pada Pengalaman sementara tipe kepribadian yang memiliki empati terendah adalah tipe Aggreableness. Selain itu, Liew et al (2011) menemukan bahwa regulasi fisiologis dan rasa takut menentukan pula perilaku empatis anak-anak. Anak yang tidak memiliki regulasi fisiologis yang baik (misalnya terserang penyakit tertentu atau tidak sehat) dan memiliki ketakutan yang besar akan sulit menampilkan perilaku empatis pada orang lain.
Pengukuran empati dilakukan dengan berbagai instrumen. Baron-Cohen dan Wheelwright (2004) mengembangkan Empathy Quotient (EQ) sebuah instrumen untuk mengukur tingkat empati pada diri manusia. EQ mengandung 60 item, 40 diantaranya adalah item empati sementara 20 sisanya adalah item kontrol. Sementara itu, Lijffijt, Caci, dan Kenemans (2005) mengembangkan kuesioner I7 (Impulsiveness-Venturesomeness-Empathy) yang mengandung elemen empati di dalamnya. Kliszcz et al (2006) menggunakan skala empati Jefferson. Skala ini spesifik pada konteks pelayanan kesehatan dan mengandung tiga elemen (pengambilan perspektif, perawatan penuh rasa kasih, dan berada dalam situasi pasien) yang diwakilkan oleh 20 item. Lee dan Chang (2008) dalam studinya pada masyarakat umum di Taiwan menggunakan instrumen empati yang hanya terdiri dari empat item.
Penelitian ini akan memilih menggunakan instrumen empati Lee dan Chang (2008) untuk mengukur tingkat empati pada diri individu. Lebih lanjut, sejalan dengan teori empati di atas, dihipotesiskan bahwa tingkat empati individu akan berpengaruh signifikan terhadap perilaku menyumbang. Selain itu, efek ini akan lebih tercermin dalam pilihan promosi yang mengandung elemen empati daripada yang tidak.
H5: Tingkat Empati Individu berpengaruh terhadap perilaku menyumbang
H6: Pesan yang menggugah rasa empati pada diri individu akan lebih efektif daripada pesan yang tidak menggugah rasa empati

2.1.6        Realisme Moral

Menurut Devitt (2002), realisme moral adalah pandangan filosofis yang berpendapat bahwa (1) terdapat fakta moral yang objektif, (2) terdapat pernyataan moral yang benar secara objektif, (3) terdapat orang atau tindakan yang baik, buruk, jujur, menipu, baik, tidak baik, yang secara moral objektif, (4) terdapat tindakan yang dapat atau tidak dapat dilakukan seseorang, dan (5) orang berhak secara objektif untuk mendapatkan privasi dan menjalani hidupnya. Intinya adalah pendapat bahwa terdapat fakta atau sifat moral yang independen dari pikiran dan hal ini menentukan nilai kebenaran atas klaim moral kita (Kawall, 2005). Moral realisme bermakna bahwa misalnya pernyataan kalau “adalah salah menyiksa orang untuk kesenangan” adalah objektif. Ia tetap berlaku bahkan jika semua orang di dunia memandang bahwa menyiksa orang untuk kesenangan itu benar (Plantinga, 2010:249).
Bagi seorang yang cenderung realis, pernyataan filosofis di atas terlihat benar dengan sendirinya. Walau begitu, jika realis moral benar, maka akan ada banyak kesepakatan mengenai moral di berbagai penjuru dunia, dan kenyataannya banyak terdapat ketidaksepakatan moral di dunia ini (Huemer, 2014). Situasi ini mendorong banyak orang untuk menjadi relativis moral yang tidak setuju dengan pernyataan-pernyataan realisme moral.
Menurut Finlay (2007), realisme moral memiliki empat jenis yaitu realisme moral semantik, realisme moral ontologis, realisme moral metafisik, dan realisme moral normatif. Agama merupakan realisme moral normatif karena memiliki agen yang memaksakan fakta moral yaitu aturan-aturan agama. Walau begitu, terdapat pula perdebatan mengenai apakah Tuhan menciptakan aturan moral atau sebaliknya, Tuhan mengikuti aturan moral yang telah ada. Hal ini membedakan antara realis moral sejati (yang percaya Tuhan mengikuti aturan moral) dan realis religius (yang percaya Tuhan menciptakan aturan moral).
Young dan Durwin (2013) menggabungkan teori priming dengan teori realisme moral untuk mendorong partisipan melakukan perilaku menyumbang. Mereka melakukan studi eksperimental untuk memanipulasi responden dengan tiga jenis kondisi: realisme moral, antirealisme moral, dan tanpa priming. Priming realisme moral meminta responden memberikan pendapat apakah ia setuju kalau beberapa hal di dunia ini benar atau salah, baik atau buruk, dimanapun di bumi ini? Priming antirealisme meminta responden memberikan pendapat apakah ia setuju kalau moral dan nilai dibentuk oleh budaya kita dan bagaimana kita dibesarkan, sehingga tidak ada yang mutlak benar dan mutlak salah dalam masalah moralitas? Studi mereka menemukan bahwa partisipan dua kali lebih mungkin lebih menyumbang ketika mendapatkan priming realisme moral ketimbang priming antirealisme moral dan tanpa priming. Eksperimen oleh peneliti yang sama pada lingkungan online juga menunjukkan hasil yang sama, tetapi dengan efek yang lebih lemah.
Berdasarkan penelitian dan teori di atas, maka peneliti berhipotesis bahwa priming realisme moral dalam promosi OPZ akan mendorong responden menyumbang lebih banyak daripada priming antirealisme moral dan tanpa priming.
H7: Pesan yang menekankan bahwa kebaikan merupakan sebuah prinsip universal tanpa penafsiran mendua lebih efektif daripada pesan yang menyatakan sifat moral sebagai sesuatu yang relatif atau tanpa priming

2.2  Perilaku Menyumbang

Perilaku menyumbang adalah sebuah dukungan individual pada sebuah ajakan beramal (Griffin dan Grace, 2005:93). Perilaku menyumbang dapat berbentuk tampak ataupun tak tampak. Bentuk tampak ditunjukkan misalnya dengan pembelian barang untuk tujuan amal yang dapat dikenakan seseorang sehingga orang lain melihat bahwa ia telah memberikan sumbangan. Perilaku menyumbang yang tidak tampak adalah perilaku menyumbang yang tidak segera terlihat oleh orang lain misalnya memasukkan uang di kotak amal ketika orang lain tidak melihat atau mengosongkan nama atau memakai nama samaran untuk mengisi kuitansi tanda telah memberikan sumbangan.
Penelitian tentang perilaku menyumbang telah banyak dilakukan dan memberikan banyak faktor yang menjadi pendorong atau penarik sumbangan. Penelitian Griffin dan Grace (2005) misalnya, menemukan fakta bahwa sumbangan yang tampak dipengaruhi oleh keterlibatan seseorang, gender (perempuan), dan usianya (muda), sementara sumbangan tak tampak dipengaruhi hanya oleh keterlibatan. Keterlibatan diartikan sebagai “persepsi atas relevansi objek berdasarkan kebutuhan, nilai, dan kepentingan individu” (Griffin dan Grace, 2005:93). Studi Yang (2014) pada sumbangan alumni universitas menemukan pengaruh faktor kelebihan penghasilan, pengalaman di pasar tenaga kerja, frekuensi kunjungan ke kampusnya, dan konformitas (keinginan diterima oleh komunitas yang meminta sumbangan). Hal ini kemudian dapat ditafsirkan pada latar yang lebih umum kalau seseorang lebih mungkin menyumbang jika ia memiliki kelebihan harta, memiliki sumber penghasilan yang baik, sering terlibat dengan masyarakat miskin, dan juga memiliki keinginan untuk dipandang sebagai orang yang baik di mata masyarakat.
Studi Lee dan Chang (2008) menemukan bahwa kemungkinan menyumbang dengan uang dipengaruhi oleh faktor usia, gender, pendapatan, status perkawinan, beban keluarga, dan persepsi umum terhadap sumbangan. Orang yang lebih mungkin menyumbang adalah orang yang berusia muda, perempuan, berpendapatan tinggi, memiliki satu atau lebih anak, dan telah menikah, serta memiliki persepsi positif terhadap perilaku menyumbang. Menariknya, empati justru ditemukan tidak berpengaruh signifikan pada perilaku menyumbang. Empati hanya berpengaruh pada keterlibatan dalam menjadi relawan. Selain dipengaruhi empati, keterlibatan dalam menjadi relawan juga dipengaruhi oleh usia, status perkawinan, persepsi umum tentang sumbangan, rasa tanggungjawab sosial, dan familiaritas dengan sumbangan. Lee dan Chang (2008) tidak memberikan penjelasan mengapa empati tidak berpengaruh signifikan pada sumbangan dalam bentuk uang, walaupun sejumlah penelitian sebelumnya yang mereka kutip menunjukkan pengaruh yang signifikan. Hal ini patut disayangkan karena empati merupakan elemen penting bagi perilaku manusia yang mencerminkan moralitas seperti perilaku menyumbang.
Kembali pada Young dan Durwin (2013), mereka melakukan dua jenis eksperimen. Dalam eksperimen pertama, partisipan benar-benar memberikan sumbangan sementara pada eksperimen kedua, partisipan hanya menjawab pertanyaan “seberapa besar uang yang anda akan sumbangkan (paling banyak $20), jika anda memiliki kesempatan untuk menyumbang?”. Dalam eksperimen pertama, para peneliti mengukur frekuensi sumbangan, bukannya jumlah sumbangan, karena sebagian partisipan tidak memiliki uang walaupun memutuskan untuk menyumbang. Dalam eksperimen kedua, para peneliti mengukur jumlah sumbangan (termasuk $0). Sejalan dengan penelitian tersebut, maka perilaku menyumbang dalam penelitian ini diukur oleh dua indikator yaitu frekuensi sumbangan dan besaran dari sumbangan.
2.3  Zakat, Infak, dan Sadakah
Perilaku menyumbang dalam ajaran Islam di Indonesia umumnya dibagi menjadi zakat, infak, dan sadakah. Ketiganya memiliki akar dari ajaran Islam yang menyatakan bahwa Tuhan mengakui kekayaan, kemampuan, dan kepemilikan individual, tetapi juga menekankan pentingnya solidaritas sosial, keadilan sosial, dan kebaikan (Nanji, 2001:64). Hal ini dinyatakan dalam QS An Nahl : 90 yang berbunyi:
* ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ  
16:90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Selain itu, Tuhan sangat menghargai orang yang mengeluarkan kekayaannya untuk membantu orang lain (QS Al Hadid :18) dan sebaliknya, menghukum orang yang menumpuk-numpuk kekayaan (QS Ali Imran :180). Dua aspek hukum ini ditunjukkan dalam dua ayat berikut:
¨bÎ) tûüÏ%Ïd¢ÁßJø9$# ÏM»s%Ïd¢ÁßJø9$#ur (#qàÊtø%r&ur ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ß#y軟ÒムóOßgs9 óOßgs9ur ֍ô_r& ÒOƒÌx. ÇÊÑÈ  
57:18. Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul- Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.
Ÿwur ¨ûtù|¡øts tûïÏ%©!$# tbqè=yö7tƒ !$yJÎ/ ãNßg9s?#uä ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù uqèd #ZŽöyz Nçl°; ( ö@t/ uqèd @ŽŸ° öNçl°; ( tbqè%§qsÜãy $tB (#qè=σr2 ¾ÏmÎ/ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 3 ¬!ur ß^ºuŽÏB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ª!$#ur $oÿÏ3 tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇÊÑÉÈ  
3:180. sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Perbedaan antara zakat, sadaqah, dan infak merupakan perbedaan sebutan dalam al Qur’an yang menunjukkan konteks ia muncul. Dalam al Qur’an, perilaku menyumbang dinyatakan dalam lima bentuk yaitu sadaqa, zakat, nafaqa, khayr, dan qard hasan. Sadaqa dan zakat adalah dua konsep utama. Konsep infak diturunkan dari konsep nafaqa yang bermakna mengeluarkan kekayaan untuk menyenangkan Tuhan. Hal ini disebutkan dalam surah al Baqarah ayat 265.
ã@sWtBur tûïÏ%©!$# šcqà)ÏÿYムãNßgs9ºuqøBr& uä!$tóÏGö/$# ÅV$|ÊötB «!$# $\GÎ7ø[s?ur ô`ÏiB öNÎgÅ¡àÿRr& È@sVyJx. ¥p¨Yy_ >ouqö/tÎ/ $ygt/$|¹r& ×@Î/#ur ôMs?$t«sù $ygn=à2é& Éú÷üxÿ÷èÅÊ bÎ*sù öN©9 $pkö:ÅÁム×@Î/#ur @@sÜsù 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇËÏÎÈ  
2:265. dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.

Konsep khayr adalah konsep yang bermakna tindakan memberi secara sukarela dan menguntungkan (Nanji, 2001:65). Konsep qard hasan adalah konsep memberikan pinjaman yang menguntungkan siapa yang mendapatkan pinjaman, bukan yang memberikan pinjaman, seperti dinyatakan dalam surah al Baqarah ayat 245.
`¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ  
2:245. siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

Sadaqah dan zakat dapat tergolong infak karena kekayaan dikeluarkan untuk menyenangkan Tuhan. Hal ini menunjukkan motivasi yang sejalan dengan teori keadilan, persaingan, dan kerjasama, karena berorientasi pada yang memberikan perintah, bukan pada yang akan diberikan. Walau begitu, dalam perkembangannya di masyarakat, infak disandingkan dengan sadaqah dan zakat dimana infak dipandang sebagai sumbangan sukarela yang diarahkan bukan kepada individu tertentu, tetapi pada kegiatan seperti perbaikan mesjid dan gotong royong.
Zakat merupakan sumbangan wajib yang besarnya ditentukan dan berdosa jika tidak dilaksanakan. Zakat memiliki akar kata dari zaka yang berarti menjadi murni. Kata zakat disebutkan dalam al Baqarah ayat 177:
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ  
2:177. bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.

Zakat diarahkan pada sekelompok penerima yang telah ditentukan kategorinya. Orang-orang yang wajib menerima zakat disebut sebagai mustahik dan didaftarkan oleh surah at Taubah ayat 60.
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ  
9:60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

 Sadaqah adalah sumbangan sukarela dalam jumlah namun diarahkan pada individu yang lebih luas cakupannya daripada mustahik. Al Baqarah ayat 273 menyebutkan bahwa sadaqah diarahkan pada orang miskin, orang yang sedang dalam periode transisi namun terlihat tidak memerlukan bantuan, dan orang yang memerlukan bantuan untuk hidup sehari-hari atau mengubah pola hidup dengan kesempatan ekonomi atau pekerjaan yang lebih baik.
Ïä!#ts)àÿù=Ï9 šúïÏ%©!$# (#rãÅÁômé& Îû È@Î6y «!$# Ÿw šcqãèÏÜtGó¡tƒ $\/ö|Ê Îû ÄßöF{$# ÞOßgç7|¡øts ã@Ïd$yfø9$# uä!$uÏZøîr& šÆÏB É#ÿyè­G9$# Nßgèù̍÷ès? öNßg»yJŠÅ¡Î/ Ÿw šcqè=t«ó¡tƒ šZ$¨Y9$# $]ù$ysø9Î) 3 $tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9Žöyz  cÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ íOŠÎ=tæ ÇËÐÌÈ  
2:273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.

2.4  Organisasi pengelola zakat

Dalam negara modern, wacana pengelolaan zakat dan sadaqah merupakan wacana besar yang memerlukan pengelolaan oleh negara. Negara memberikan sebuah izin pada lembaga-lembaga khusus yang bertindak sebagai penyalur sumbangan finansial dari umat. Lembaga ini kemudian disebut sebagai OPZ atau Organisasi Pengelola Zakat. Pengelolaan zakat sendiri menurut Undang Undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah “kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat”. Walaupun sasaran utama adalah dana zakat, OPZ turut mengelola sadaqah dan infak sebagai bagian dari dana umat, dan ini dilakukan secara nirlaba. Dengan pengelolaan oleh OPZ, diharapkan zakat dan sadaqah tidak hanya memberikan hasil jangka pendek seperti pemenuhan kebutuhan hidup yang cenderung konsumtif, tetapi juga pemenuhan jangka panjang, seperti pemberdayaan ekonomi yang cenderung produktif.
Menurut Keputusan Menteri Agama No 373 tahun 2003, terdapat dua jenis OPZ yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Perbedaannya terletak pada unsur yang mendirikan dan anggotanya. BAZ didirikan oleh pemerintah, memiliki anggota dari unsur masyarakat dan pemerintah, dan menjadikan pengelolaan zakat sebagai tugasnya. LAZ didirikan oleh masyarakat dan pemerintah hanya berperan dalam pemberian izin dan pengawasan, sementara pengelolaan zakat merupakan sebuah kegiatan dari LAZ.
Pada gilirannya, persaingan terjadi antar OPZ yang masing-masing memiliki program tersendiri untuk pengelolaan zakat yang mereka terima. Pada dasarnya, program OPZ memiliki dua dimensi yaitu dimensi efek dan dimensi bentuk kegiatan. Dari segi efek, terdapat dua jenis sasaran yaitu sasaran konsumtif dan sasaran produktif, sementara dari segi bentuk kegiatan terdapat dua tipe yaitu tipe tradisional dan tipe kreatif. Karenanya, terdapat empat jenis pengelolaan zakat oleh OPZ: (1) konsumtif tradisional berupa santunan, (2) konsumtif kreatif, berupa beasiswa, bantuan kesehatan, bantuan dakwah, bantuan pendidikan, atau bantuan kemanusiaan, (3) produktif tradisional berupa pemberian barang-barang modal seperti ternak, mesin, atau alat, dan (4)  produktif kreatif berupa pemberian modal usaha disertai dengan pendampingan lewat perspektif pemberdayaan masyarakat.
Agama Islam telah memfasilitasi peran OPZ dalam ajarannya. Salah satu pihak yang berhak menerima zakat adalah amil yaitu orang yang mengelola zakat itu sendiri. Dalam level organisasi, ini berarti OPZ sendiri merupakan pihak yang berhak menerima sumbangan. Sumbangan ini kemudian digunakan untuk dana operasional serta untuk gaji amilin.
 Dalam persaingan program inilah, upaya promosi kemudian dijalankan. Masing-masing OPZ menggunakan dana operasional salah satunya untuk kegiatan promosi program ini. Karenanya, kita dapat melihat bahwa promosi pemasaran OPZ yang bersifat nirlaba juga merupakan subjek bagi ekonomi syariah dalam upaya pengembangannya sesuai ajaran Islam dan hasil penelitian mengenai perilaku manusia dalam hal ekonomi.

2.5  Landasan Teori

Model yang digunakan untuk menjadi landasan teori perilaku menyumbang umumnya adalah model teori perilaku terencana (Ajzen, 1991) yang memuat lima faktor: sikap, efikasi diri, norma subjektif, pengetahuan, dan perilaku sebelumnya, yang mempengaruhi niat dan akhirnya niat mempengaruhi perilaku (Jalalain et al, 2010). Hal ini wajar karena perilaku menyumbang adalah sebuah bentuk perilaku dan perilaku ini dapat rasional karena memerlukan pertimbangan finansial. Walau begitu, ia dapat pula tidak rasional, misalnya dengan masuknya faktor empati di dalamnya. Karenanya, penelitian ini lebih bertopang pada penelitian empiris ketimbang menggunakan satu teori tertentu untuk mengembangkan kerangka teori perilaku menyumbang.
Teori-teori yang diambil dalam penelitian ini mewakili perilaku manusia secara komprehensif dengan asumsi adanya komponen rasional dan nonrasional dalam perilaku menyumbang. Teori keadilan, persaingan, dan kerjasama mewakili komponen yang berorientasi normatif yaitu pada yang memberikan perintah. Teori priming mewakili komponen non rasional tak sadar manusia. Teori identitas moral mewakili komponen yang berorientasi pada diri manusia. Teori empati mewakili komponen yang berorientasi pada sasaran sumbangan, dan teori realisme moral berorientasi pada keseluruhan sistem yang digunakan manusia untuk memahami moralitas.

2.6  Kerangka Konsep

Berdasarkan teori-teori dan hipotesis yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini mengajukan kerangka konseptual sebagai berikut. Kerangka konseptual ini menggambarkan bahwa penelitian diarahkan pada dua sasaran yaitu OPZ dan umat Islam secara individual. Hipotesis 1, 2, 3, 6, dan 7 diarahkan pada OPZ dengan evaluasi pada promosi yang mereka jalankan, sementara hipotesis 4 dan 5 diarahkan pada individual. Sasaran akhir dari keduanya adalah frekuensi donasi yang tinggi dan jumlah donasi yang besar diberikan oleh individual pada OPZ.
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual