Friday, January 14, 2011

Contoh bab 4 tesis kriminologi: Konstruksi Kriminalitas dan Perlakuannya

A. Pendahuluan
Konteks fisik dimana studi ini dikembangkan adalah di penjara. Karenanya penting mendapatkan pandangan kepada berbagai pemahaman mengenai pengaruh pribadi dan sosial yang dapat dimiliki konteks ini. Cara konstruksi kejahatan dihadapi merupakan cerminan asumsi dan keyakinan masyarakat mengenai sifat dan penyebab kejahatan (Carter, 1975). Sebagai contoh, di masa lalu masyarakat mengkonseptualisasikan kejahatan sebagai bagian dari kerasukan mental dan fisik oleh roh jahat. Penyebabnya kemudian adalah mengeluarkan roh tersebut lewat metode yang diterima secara kultural.
Lebih baru lagi, gagasan modernis mengenai kriminalitas memandang individu sebagai sebuah agen bebas, yang memiliki kapasitas memilih antara benar dan salah. Sesuai dengan pandangan ini, diterima kalau kriminalitas tinggal di dalam “psyche” individual sehingga ia memiliki dua kemungkinan, ia sengaja melanggar aturan hukum atau ia menderita gangguan kepribadian (Carter, 1975).
B. Teori kriminologi modern
Dalam usaha memahami kejahatan, Hagan (1985) memberikan teori-teori keterkendalian, teori kebudayaan, status dan kesempatan dan teori lepas kendali. Teori-teori ini dari bidang kriminologi dan akan dibahas dalam bagian-bagian berikut.
1. Teori-teori keterkendalian
a. Teori disorganisasi sosial
Pertanyaan mendasar yang diajukan teoritikus keterkendalian adalah : Kenapa orang melanggar hukum yang diterima sebagian besar orang? Teoritikus disorganisasi sosial menjelaskan perilaku menyimpang sebagai hasil dari ketiadaan atau kegagalan kendali sosial tradisional. Ini adalah efek samping dari urbanisasi. Mereka berpendapat kalau ada kerusakan dalam proses yang secara normal mengatur perilaku melanggar hukum saat kota tumbuh dan masyarakat menjadi terdisorganisir.
Asumsi dibaliknya adalah bahwa ada kontras antara kebutuhan dan keinginan dari individu dan masyarakat. Teoritikus disorganisasi sosial telah berusaha menghubungkan kendali sosial lemah, disorganisasi sosial, kemiskinan, mobilitas masyarakat dan juga heterogenitas, dan bagaimana faktor-faktor ini terkait dengan kejahatan. Salah satu pandangan yang mereka ajukan adalah masyarakat miskin (yang tinggal secara informal, gelandangan, gang) merupakan masyarakat yang terdisorganisir. Pandangan ini dipertanyakan oleh para teoritikus netralisasi.
b. Teori netralisasi
Teori netralisasi berpendapat bahwa norma dan nilai sosial dipelajari oleh sebagian besar orang, walaubegitu sebagian lagi belajar menetralisir atau merasionalisasi pelanggaran mereka. Bukannya menekankan kondisi tujuan masyarakat yang tidak beruntung secara ekonomis, fokusnya adalah penafsiran subjektif situasi yang menghasilkan kejahatan.
Teknik netralisasi yang diajukan oleh Sykes dan Matza (dalam Hagan, 1985), termasuk : Penolakan tanggungjawab (memandang diri sendiri sebagai agen kekuatan sosial yang tidak berdaya); penolakan korban (menyatakan korban sebagai pelaku kesalahan dan diri sendiri bertindak sebagai pembalas seperti dalam cerita klasik Robin Hood); penolakan cedera (memandang perilaku sebagai tindakan yang tidak berbahaya); pengutukan pengutuk (menyalahkan penangkap sebagai pihak yang menyimpang dan munafik) dan terakhir, merujuk pada kesetiaan yang lebih tinggi (memenuhi kebutuhan kelompok yang lebih kecil seperti keluarga atau gang, demi hukum dan tuntutan masyarakat). Fokus disini adalah proses pemikiran terlibat dalam perilaku menyimpang penetral.
c. Teori kendali
Teori keterkendalian ketiga adalah teori kendali. Teori kendali menekankan bahwa sebagian orang dapat merasa kurang terkendala oleh norma dan nilai suatu masyarakat daripada orang lain, sehingga mereka merasa relatif bebas menyimpang dari aturan. Sementara teori sebelumnya pada umumnya memandang orang sebagai “baik” hingga mereka menjadi “buruk”, teori kendali mengajukan kalau orang memiliki kesetaraan untuk menjadi “baik” atau “buruk” karena masyarakat memungkinkan hal tersebut.
Asumsi kuncinya adalah masyarakat yang menentukan apa itu baik dan apa itu buruk lewat norma dan nilainya, yang dibagikan dan diberlakukan pada anggotanya. Kendala-kendala dipandang bekerja didalam individual (kendali diri, konsep diri positif) dan juga diluar individu (hukum, polisi). Menurut Akers (dalam Hagan, 1985), teori kendali paling sesuai dengan asumsi teori belajar sosial yaitu perilaku kita dipengaruhi oleh hadiah dan hukuman positif dan negatif yang diterima dari orang lain.
Tiga teori di atas dicirikan oleh asumsi kalau kita semua memiliki nilai yang sama yang dapat menyimpang dalam jumlah kesetujuan ketimbang jenis nilai yang disetujui. Orang kemudian berperilaku menyimpang karena ikatan yang mengekang orang lain (organisasi dan kendali sosial, ketegaran norma dan nilai sosial, dan pengaruh hadiah dan hukuman positif dan negatif), tidak menjadi kendala bagi mereka. Teori-teori kelas, status dan kesempatan (lihat pembahasan selanjutnya) tidak berasumsi kalau kelemahan kriminal ada pada nilai atau kendala, namun berpusat pada perbedaan dalam nilai dan bagaimana mereka dipertahankan dalam berbagai konteks situasional.
2. Teori-teori Kelas, Status dan Kesempatan
a. Teori budaya kelas
Pertama-tama, teoritikus budaya kelas memandang kejahatan sebagai aliran keluar alami dari sejarah dan tradisi yang menemani sistem/kelas bawah. Menurut Miller (dalam Hagan, 1985) ada enam masalah fokus dimana tradisi kelas bawah dibangun. Hal ini termasuklah kecenderungan untuk masuk ke dalam dan tetap berada dalam masalah; memegang citra kekerasan; kapasitas menjadi jauh lebih pintar dan lebih berani dari orang lain; pencarian kegembiraan, ketegangan, resiko dan bahaya; mencari keberuntungan berdasarkan nasib (hal baik terjadi karena nasib bukan hasil kerja keras) dan juga memiliki keinginan ambivalen atas otonomi dan independensi (walau harus mendorong batas diri sendiri dapat menghasilkan kendala luar). Disarankan kalau nilai-nilai berakar historis kelas bawah ini, saat bekerja, memberi pria dewasa dari kebudayaan ini mengalami konflik dengan hukum.
Banfield (dalam Hagan, 1985) menyarankan kalau kerentanan seseorang untuk melakukan kejahatan dimediasi oleh dua faktor utama. Naluri termasuk tipe moralitas seseorang (prakonvensional, konvensional atau poskonvensional), kekuatan ego (kendali diri), cakrawala waktu (pertimbangan seseorang atas masa depan), cita rasa resiko (pilihan seseorang untuk mengambil kesempatan) dan keinginan seseorang untuk memberikan cedera atau rasa sakit pada orang lain. Faktor kedua adalah insentif orang tersebut untuk melakukan kejahatan.
Pada dasarnya, teoritikus ini meletakkan naluri tinggi untuk melakukan kejahatan pada sub budaya kelas rendah, yang berarti meletakkan kelompok-kelompok ini pada resiko tinggi untuk mengalami konflik dengan norma dan nilai sosial yang lebih besar yang mengelilingi mereka.
Teori budaya kelas bawah dapat dikritik dengan menyadari paling tidak satu point penalaran, yaitu perilaku tampak dijelaskan dengan merujuk pada prevalensi perilaku itu sendiri (Hagan, 1985). Teori budaya kelas bawah cenderung tidak menekankan kondisi sosial, politik dan ekonomi dimana nilai-nilai dimunculkan. Kondisi demikian akan dipertimbangkan dalam teori selanjutnya.
b. Teori status
Teori frustasi status menjelaskan kejahatan sebagai sebuah respon kelompok pada harapan masyarakat, yang tidak dapat dipenuhi oleh anggota kelompok tersebut, sehingga mereka memilih untuk menentang. Ketimbang memandang kejahatan sebagai hasil dari dinamika internal sub kultur, teoritikus frustasi status berfokus pada konflik yang ada antara berbagai sistem nilai. Kobrin berpendapat, misalnya, kalau banyak penyimpangan remaja dapat dijelaskan sebagai apa yang ia sebut sebagai adaptasi defensif. Ini adalah reaksi pada ketidakmampuan memperoleh tujuan kriteria status konvensional (dalam Hagan, 1985).
Hagan (1985) melanjutkan dengan memberikan penjelasan untuk prevalensi yang mungkin dari penyimpangan pada subkultur kelas bawah sebagai hasil dari tidak adanya sumberdaya untuk memperlengkapi remaja dengan alat yang diperlukan agar mampu mencapai tujuan yang sama seperti pada kelas menengah. Cohen (dalam Hagan, 1985) mencatat kalau anak kelas pekerja, saat masuk kedalam dunia nilai sekolah kelas menengah, dinilai sesuai dengan nilai kelas menengah. Penilaian demikian sering diikuti dengan degradasi, rendah diri atau keminderan atas sistem nilai dominan. Anak tidak hanya dihadapkan pada penilaian kegagalan oleh budaya kelas menengah, namun juga dengan serangan ego dan citra diri. Penyimpangan kontra budaya menawarkan himpunan kriteria alternatif yang dapat dipenuhi oleh remaja kelas pekerja. Pemberontakan akibatnya menjadi cara menarik untuk keluar dari situasi yang menantang naluri diri dan status (Hagan, 1985).
c. Teori kesempatan
Bila teori frustasi status berasumsi adanya disparitas antara nilai subkultural, teori kesempatan melihat kejahatan sebagai produk disparitas antara tujuan bersama dan alat pencapaian tujuan tersebut oleh sebagian orang saja. Merton berfokus pada dua tampilan struktur sosial dan budaya, yaitu tujuan yang didefinisikan secara kultural dan metode struktural yang diterima untuk mencapai tujuan ini (dalam Hagan, 1985).
Anomie, menurut para teoritikus, adalah hasil dari peluruhan dalam hubungan antara gagasan bersama disekitar tujuan keberhasilan namun merupakan alat terbatas untuk mencapai tujuan tersebut. Ia mengajukan berbagai tipe adaptasi pada hubungan antara tujuan kultural dan alat melembaga untuk mendapatkannya.
Tipe-tipe adaptasi ini ditunjukkan sebagai berikut (Diadaptasi dari Hagan, 1985):



Tujuan Budaya:
Alat melembaga untuk mendapatkannya:
I
Konformitas
Diterima
Diterima
II
Inovasi
Diterima
Ditolak (misalnya mencuri untuk mendapat kekayaan)
III
Ritualisme
Ditolak
Diterima (misalnya mengikuti aturan tanpa berusaha mendapat tujuan sosial)
IV
Retreatisme
Ditolak
Ditolak (misalnya buangan, pecandu narkoba, orang gila, pariah)
V
Pemberontakan
Penolakan dan substitusi tujuan dan alat akses
Teori Merton berfokus pada masalah akses pada alat yang sah untuk mencapai tujuan sosial. Cloward dan Ohlin memperluas teori ini dalam usaha mencari penjelasan mengapa kriminal memilih bidang kejahatan tertentu (dalam Hagan, 1985). Jawaban yang mereka berikan terkait pada pelatihan dalam sembarang profesi: Seseorang harus mendapat akses pada lingkungan belajar, mendapat pelatihan dan diizinkan melakukan peran yang telah ia pelajari secara sadar dalam struktur kesempatan yang sah ataupun tidak sah.
Sejauh ini, pembahasan kita telah berfokus pada teori-teori yang mencoba menjelaskan mengapa orang berperilaku tertentu yang kita sebut “kriminal”. Teori-teori lepas kendali berikut sebaliknya, berurusan dengan studi kriminalisasi, bertanya mengapa kita merespon pada orang tertentu dan perilaku mereka yang kemudian kita sebut kriminal. Konsekuensi status kriminal juga akan dibahas.
C. Teori-teori Lepas Kendali
Asumsi dibalik teori-teori lepas kendali adalah gagasan kalau apa yang disebut atau tidak disebut “kriminal” adalah subjek pemahaman yang saling konflik, dan karenanya berubah seiring waktu.
1. Teori label
Pada awalnya, teori label mengajukan kalau proses pemberian label pada seseorang sebagai orang yang menyimpang dapat menyebabkan bertahannya atau bahkan meningkatnya perilaku problematik. Tannenbaum menjelaskan kalau salah satu tampilan paling penting dalam menciptakan seorang kriminal adalah penerapan awal label kriminal untuk menyatakan orang yang berperilaku menyimpang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang lebih besar (dalam Hagan, 1985).
“Dramatisasi kejahatan” ini kemudian berpengaruh pada konsep diri seseorang sehingga, seiring waktu, ia mulai berpikir kalau dirinya adalah menyimpang atau kriminal. Remert memperbaiki teori ini dengan mengajukan kalau penyimpangan primer, tindakan awal yang memicu respon masyarakat, tidak memiliki pengaruh besar pada konsep diri individual, sementara penyimpangan sekunder, perilaku yang mengikuti respon masyarakat pada perilaku penyimpangan awal, membuat trauma konsep diri (dalam Hagan, 1985). Pola perilaku menyimpang sering menjadi stabil sebagai hasil dari respon masyarakat pada penyimpangan sekunder.
Becker menyebut proses labelisasi sebagai pemenuhan nubuat dan Cicourel menyalahkan pembuatan stereotipe sebagai alat menyingkirkan individual untuk menerima label (dalam Hagan, 1985). Teoritikus konflik kelompok menyebut pengembangan label sebagai fungsi kelompok masyarakat dominan untuk mempertahankan minat-minat pribadi.
2. Teori konflik kelompok
Turk memperkuat argumentasi Vold yang umumnya membahas pengaruh kelompok dominan yang menerapkan penilaian pada orang lain, dengan mendefinisikan perilaku orang tersebut sebagai kriminal (dalam Hagan, 1985). Ia menjelaskan dua kategori orang dalam masyarakat: Otoritas dominan yang membuat hukum dan subordinat yang dipengaruhi oleh (namun jarang mempengaruhi) hukum. Kondisi ini dicapai lewat proses interaksi berkelanjutan dimana otoritas mempelajari norma sosial dominasi sementara subjek mempelajari norma sosial deferensi.
Dan seterusnya …..



No comments:

Post a Comment